Jumat, 14 Oktober 2011

MERINDING DI SUMBING


“Ati-ati mas, pokoke nek nang Watu Kotak tanganmu ojo cluthak ngepek’i opo maneh nugeli wit-witan sing nang kono, nek pengen selamet” jw (“Hati-hati mas, pokoknya misal di Watu Kotak tanganmu jangan usil memetik apalagi mencabut pepohonan yang ada disitu, kalau ingin selamat” Indo).

Tiba-tiba saja kalimat itu muncul dari seorang kakek-kakek yang aku temui di pinggir jalan ketika aku bermaksud ingin menanyakan tentang keadaan Basecamp Gunung Sumbing via jalur Garung. Tak pelak kalimat tersebut membuatku mengerutkan dahi dan sedikit merinding memang, pasalnya sebelumnya aku telah rajin googling, browsing, dan mencari informasi-informasi di internet mengenai pendakian Gunung Sumbing via Garung, Wonosobo. Dan apa yang aku temukan dari berbagai artikel dan catatan perjalanan orang-orang yang pernah menaiki Gunung Sumbing via jalur Garung yang mereka posting di blog, kebanyakan dari mereka mengalami hal-hal yang bersifat mistis, ganjil, dan kadang di luar nalar. Seketika itu aku berdoa semoga saja kali ini kami tidak mengalami hal-hal aneh dan mistis seperti yang telah mereka alami selama pendakian di Sumbing.
Gunung Sumbing, yang berada di ketinggian 3371mdpl merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Semeru dan Slamet. Penamaan masyarakat atas gunung yang berada tepat di sisi timur jalan raya yang menghubungkan Magelang – Wonosobo ini memanglah sangat beralasan. Pasalnya apabila kita cermati, puncak gunung tersebut memang berbentuk aneh, bergelombang, dan tak rata mirip bibir orang yang sumbing. Gunung Sumbing dikenal juga sebagai gunung kembar bersama Gunung Sindoro yang berada di sisi sebelah barat Gunung Sumbing. Masyarakat percaya bahwa Gunung Sumbing merupakan suami dari Gunung Sindoro. Hal ini dibuktikan dengan adanya tempat bernama Watu Susu (Batu Payudara) yang berada di jalur pendakian Gunung Sindoro via Sigedang.
Dalam dunia pecinta alam, Gunung Sumbing merupakan salah satu dari ekspedisi Triple S yang meliputi; Slamet, Sumbing, dan Sindoro. Bagi para pecinta alam, ada kepuasan tersendiri jika mereka berhasil menaiki ketiga gunung tersebut secara berurutan. Secara administratif, Gunung Sumbing terletak di antara dua kabupaten, yakni Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah. Di puncak Gunung Sumbing tepatnya di daerah Segoro Wedi terdapat petilasan dan makam tokoh masyarakat yang bernama KI Ageng Makukuhan. Beliau dipercaya sebagai orang pertama yang membuka hutan Gunung Sumbing untuk ditanami tembakau. Oleh karena itu masyarakat sekitar lereng Gunung Sumbing selalu rutin melakukan ritual dan selamatan di makam tersebut pada saat malam ke 21 bulan Ramadhan atau malam selikuran. Ada tiga jalur pendakian yang lazim bagi pendaki, yakni jalur Garung Kec. Kalikajar Wonosobo, jalur Cepit Kec. Bulu Temanggung, serta jalur Bowongso Kec. Kledung Temanggung. Dari ketiga jalur tersebut, jalur Garunglah yang paling populer bagi pendaki. Selain itu akses untuk menuju Basecamp Garung pun sangat mudah, apabila kita menggunakan angkutan umum berhenti saja di depan Balai Desa Butuh selanjutnya ikuti jalan masuk desa sekitar 500m akan tiba di Basecamp.
Bisa ditebak, perjalanku kali ini adalah mendaki Gunung Sumbing via jalur Garung. Pada kesempatan kali ini, aku bersama 5 orang temanku yaitu Harits, Gigih, Wawan, Ugi, dan Sukro berangkat dari Semarang mengendarai sepeda motor pada hari Jum’at 14 Oktober 2011. Selain lebih ekonomis alias irit untuk kantong mahasiswa, dengan naik motor tingkat efisiensi waktu juga bisa maksimal, mengingat rutinitas kami di kampus yang padat. Kami sampai di Basecamp Garung sekitar pukul 14.30, setelah menempuh perjalanan dari Semarang kurang lebih 3 jam. Itupun kami harus berhenti terlebih dahulu untuk melakukan Sholat Jum’at di daerah Sumowono dan mengalami apes ketika motor yang ditumpangi Gigih dan Wawan mengalami bocor ban.
Setelah sampai di Basecamp kami langsung disambut oleh anggota STICKPALA, sebuah organisasi Pecinta Alam yang memang mengelola Basecamp Garung. Setelah membayar perijinan dan administrasi lain, kami pun sejenak melepas penat selama perjalanan sembari menunggu waktu ashar. Bagi Ugi pendakian Sumbing kali ini adalah yang pertama dalam sejarah hidupnya, sebelumnya Ugi selalu saja menolak apabila kami ajak naik gunung dengan berbagai alasan dari mulai kondisi badan, mental, sampai kondisi keuangan. Namun, selepas trip kami berbackpackeran ria di Pulau Sempu Malang libur lebaran yang lalu, nampaknya Ugi menjadi termotivasi dan semangat untuk menghargai karunia dan anugerah yang diberikan Allah SWT lewat kegiatan naik gunung. Kembali ke cerita, setelah bersih-bersih, sholat dan mengisi air untuk bekal kami selama perjalanan, kamipun bersiap-siap untuk berangkat. Perlu diketahui, selama perjalanan tidak ada sumber air yang tersedia di jalur pendakian. Kalaupun ada itu hanyalah sebuah sungai kering yang berada setelah Boschweisen sebelum Pos 1 yang hanya terisi air ketika musim penghujan karenanya bagi para pendaki hendaknya mengisi perbekalan air di Basecamp.
Jam mengarah tepat pukul 16.00 ketika aku dan rombongan bersiap menapaki medan pendakian Sumbing yang konon katanya sangat terjal dan menanjak. Setelah memohon do’a restu kepada Sang Khalik agar kami diberi keselamatan selama perjalanan, kamipun tak lupa mengeluarkan alat pengambil gambar merek Samsung milik Gigih dan mengabadikan moment dengan background Gunung Sumbing yang terlihat gagah dari basecamp. Kami memutuskan untuk lewat jalur baru, karena jalur lama menurut informasi dari STICKPALA rawan longsor. Dengan konsekuensi jalur baru lebih pendek, itu artinya trek atau medan yang disuguhkan pun semakin menanjak dan tentu saja akan banyak menguras tenaga.

Harits, mengawali posisi di depan sebagai leader. Karena diantara kami dialah yang sudah pernah ke Sumbing dua kali. Sementara aku berada di posisi paling belakang sebagai sweaper karena meskipun sudah pernah ke Sumbing sebelumnya, pada kesempatan pertama aku gagal sampai ke puncak Buntu. Kami berbelok ke arah kanan di pertigaan setelah Basecamp, apabila ingin melewati jalur lama pendaki harus mengambil arah lurus. Jalan makadam perkampungan menjadi pembuka bagi derap langkah kami menuju puncak Buntu. Sesekali kami menyapa para warga yang bercengkrama di depan rumah mereka dengan sapaan khas penduduk jawa.
Sekitar 200meter kami melewati jalan makadam, tibalah kami di batas perkampungan penduduk dengan lahan penduduk. Jalur makadam pun berubah menjadi jalan tanah berdebu karena waktu itu musim kemarau. Haris langsung tersenyum dan tiba-tiba melontarkan kalimat “Selamat datang Di Sumbing”, aku belum mengerti maksud kalimat yang Haris lontarkan sampai aku melihat bahwa tanjakan sudah berada di depanku. Inilah Sumbing, tanjakan seolah-olah tak ada habisnya. Trek selamat datang pun ya tanjakan juga, hehehe. Jalur terus saja menanjak melewati perkebunan tembakau sementara debu memenuhi hidung kami karena terpicu langkah kaki kami. Sesekali kami berhenti untuk menghela nafas dan sedikit menyandarkan tas keril bawaan kami. Namun sejauh mata memandang jalur tetap saja menanjak dan terus menanjak. Tidak ada bonus trek semacam di Lawu via Cemoro Kandang ataupun Merbabu via Cunthel dan Thekelan. Sampai-sampai Ugi terkecoh, disangkanya setelah belokan trek agak sedikit melandai. Namun ternyata tetap saja menanjak dan terus menanjak. Selamat Ug, anda kecelek (tertipu.red) hehehe.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanan kami sampai di Boschweisen, yaitu batas antara perkebunan penduduk dengan hutan Gunung Sumbing. Sayup-sayup terdengar suara azan yang datang dari surau-surau di perkampungan menandakan waktu Maghrib telah tiba. Harits memutuskan untuk istirahat dan menunggu sampai waktu sholat Isya sembari kami menghangatkan badan dengan ngeteh dan makan cemilan. Tiba-tiba aku teringat akan cerita di sebuah blog yang mengatakan bahwa kalau kita sedang beruntung atau apes tepatnya, di daerah Boschweisen ini kita bisa bertemu dengan sosok setan Belanda yang wajahnya hancur. Sontak saja bulu kudukku merinding mengingat tulisan di blog tersebut. Tetapi, aku selalu ingat kalau kita sedang berada di gunung mindset kita jangan mengarah kepada hal-hal bersifat tak kasat mata seperti itu, berpikirlah positif dan tetap selalu ingat Allah SWT.
Waktu istirahat kami habiskan untuk saling bercengkrama dan berkelakar satu sama lain, guyonan mulai terlontar dari mulut Wawan dan Gigih dan senyuman mulai mengembang diantara aku, Harits, Ugi dan Sukro. Sebelumnya diantara Ugi, Wawan, dan Gigih belum saling mengenal Sukro dan Harits. Berbeda dengan aku yang sudah akrab dengan mereka semua, Harits adalah teman SMA ku dulu, sekaligus teman kosku sewaktu aku masih menimba ilmu di IAIN. Pun juga Sukro, dia juga teman sekosku dulu di Ngaliyan. Sementara Ugi, Wawan, dan Gigih adalah sahabat-sahabatku di Jurusan BK UNNES.
“Ayo, saatnya berangkat!!” ajak Harits kepada kami semua ketika dia rasa waktu istirahat kita di Boschweisen telah cukup. Sesaat sebelum melanjutkan perjalanan, Harits menginstruksikan kepada kami agar selalu bersama dan jangan sampai ada yang terpisah mengingat waktu itu adalah perjalanan malam. Dia bertindak sebagai leader yang membuka jalur di depan, sementara aku berada di posisi juru kunci sebagai sweaper mengawal keempat teman yang lain. Entah mengapa ketika kaki baru saja melangkah, jantungku serasa berdegup kencang seakan sebuah bom ketakutan yang terpicu detonator cerita-cerita gaib. Hening dan sepi, hanya suara binatang malam yang menyelimuti gendang telinga kami. Mulut kami pun tak bergeming seakan terbungkam menahan suara, hanya suara nafas yang tersengal-sengal karena kelelahan yang terdengar. Cahaya bulan yang mengintip dari celah-celah pohon pinus serta seberkas sinar dari lampu senter kami sajalah yang menjadi sumber cahaya kami selama perjalanan. Jalan masih saja menanjak di tengah hutan pinus dan bahkan semakin menanjak dibandingkan dengan medan yang melewati perkebunan tembakau tadi.
Mindsetku kembali tertuju pada hal-hal mistis yang aku baca, bahkan meskipun mulutku berkomat-kamit berdo’a dan memohon keselamatan tetap saja nyaliku menciut. Seperti halnya seorang paranoid, aku terus saja membayangkan kalau-kalau cerita-cerita mistis itu kami alami sendiri kali ini. Benar-benar tidak logis kali ini, tak ayal seketika itu juga bulu kudukku merinding dan degup jantungku semakin kencang saja. Sampai aku merasa beberapa kali tengkukku ada yang meniup, namun ketika aku menoleh ke belakang jelas tidak ada siap-siapa. Hal itu terjadi bebrapa kali, namun aku tetap berfikir bahwa itu hanya halusinasiku saja.
“Istirahat Rits” pintaku kepada Harits ketika kami menemukan tanah agak lapang di sebelah jalur pendakian setelah satu jam  perjalanan dari Boschweisen tadi. Selain karena kami telah merasa kehilangan tenaga akibat medan yang menanjak, aku juga was-was akan kejadian aneh tadi. Aku pun menceritakan apa yang aku alami kepada Harits. Maklum saja, di antara kami Harits lah yang mempunyai sixth sense atau indra keenam khususnya kelebihan untuk melihat hal-hal yang tak kasat mata. Dia menghimbauku nanti ketika dalam perjalanan setiap 5 menit sekali aku memanggil namanya sebagai kode. Ini dimaksudkan agar jarak antara aku dan Harits tetap aman dan tercover, dan akupun mengiyakan.
Perjalanan menuju pos 2 kami lanjutkan, belum ada 5 menit berjalan aku merasakan hal aneh seperti tadi, kali ini tiupannya semakin keras. Padahal tak ada angin yang bertiup kencang saat itu. Namun, kali ini seolah aku kehilangan keberanianku untuk menoleh kebelakang dan memastikan bahwa itu semua hanya halusinasi. Terus dan terus saja aku mengalami hal itu, sampai-sampai aku percepat kode memanggil nama Harits, bahkan berulang kali aku panggil setiap dua menit. Terlihat jelas nada panggilku terdengar seperti orang yang ketakutan. Apalagi saat aku meminta Sukro yang berjalan di depanku untuk bergantian menjadi sweaper di tolaknya.
Aku merasakan perjalanan kali ini begitu lama. Disamping karena medan yang ekstrim dan menguras tenaga kami, ditambah pula dengan adanya kejadian-kejadian aneh yang menimpaku tadi. Akhirnya setelah 2 jam berjalan kami sampai di Pos 2 Gatakan. Di pos 2 Gatakan terdapat sebuah shelter yang bisa digunakan para pendaki untuk beristirahat dan berteduh dari teriknya sinar matahari yang menyengat ataupun dari derasnya air hujan yang membasahi tubuh. Lagi-lagi aku teringat artikel yang aku baca mengenai pengalaman mistis para pendaki. Nama Gatakan berasal dari bahasa Jawa yang berarti usil atau suka mengusili. Konon katanya, di Pos 2 inilah para pendaki sering diusili oleh sesosok sundel bolong yang sering meampakkan wujudnya dan tak jarang mengganggu para pendaki yang bermalam di pos ini.
 Jam menunjukkan pukul 22.00 ketika Harits memutuskan untuk beristirahat dan mengisi tenaga dengan memasak mie instan yang menjadi menu utama kami. Dalam hati sebenarnya aku menolak untuk berhenti, tetapi mengingat kondisi badan kami yang sudah kelelahan dan adanya demonstrasi besar-besaran para cacing di perut kami, dengan terpaksa aku mengiyakan namun agak berat. Setelah mengeluarkan kompor, nesting, mie, dan lain sebagainya kamipun bersiap-siap memasak. Ketika itu, Ugi meminta waktu untuk dia tidur. Memang terlihat jelas raut muka kelelahan pada temanku yang satu ini. Aku, Harits, dan Sukro bertugas memasak nasi. Sementara Wawan dan Gigih memasak mie instan. Tiba-tiba suara angin yang menderu dan menakutkan menelusup di telinga kami, seketika itu juga menembus pori-pori kami dan menjadikan suasana malam itu tambah mencekam. Kencangnya angin yang datang sampai-sampai menghempaskan parafin yang kami bawa tiba-tiba terhempas oleh angin hilang entah kemana. Beruntung Wawan masih mempunyai cadangan parafin, sehingga kami masih tetap bisa melanjutkan memasak. Kembali ingatan cerita mistis dan gaib menyapa otakku seiring kejadian yang aku alami tadi dan apa yang baru saja kami alami. Memang agak sedikit aneh, sebelumnya suasana begitu tenang dan angin malam yang bertiup pun sangat lembut, tapi kenapa tiba-tiba kencang seperti ini? “Ah, biasalah namanya juga di gunung, bukankah alam tidak bisa ditebak?”. Kalimat itu terlontar dari mulutku untuk sekedar menepis dan menghilangkan ketakutanku kala itu.
Ada sekitar atu jam lebih kami beristirahat di Pos 2 Gatakan, namun tak juga hilang rasa takutku dan bahkan semakin besar saja setelah beberapa kejadian janggal tadi. Kami lanjutkan perjalanan dengan diiringi alunan lagu-lagu Dream Theater yang mengalun dari pemutar musik di handphone milik Harits. Agaknya dengan ikut bersenandung menyanyikan syair lagu-lagu Dream Theater katakutanku mulai mereda. Bahkan kicauan dari mulut Wawan yang sangat parau mulai membahana dan agak mencairkan suasana. Ditambah tingkah laku dan polah dari Gigih yang mengeliat seperti cacing kepanasan menambah lucunya adegan malam kala itu. Setelah kami beranjak dari Pos 2 untuk melanjutkan perjalanan, dengan serta merta angin kencang yang tadi bertiup dan menyapa kami di Pos 2 tiba-tiba saja hilang dan berhenti. Kali ini aku mencoba kembali berpikir positif, dan melogiskan kejadian ini.
Sekitar setengah jam kami berjalan dari Pos2 menembus gelapnya malam hutan Gunung Sumbing dan keras serta terjalnya medan yang kami lalui, sampailah kami di sebuah tanah datar yang sempit yang merupakan batas antara hutan montane Sumbing dengan medan terbuka yang berciri khas tumbuhan perdu seperti cantigi, eidelweis, ilalang, dan sengon gunung. Sekilas mata kami memandang dan senter kami tertuju pada sebuah batu keramik yang bertuliskan in memorium tepat berada di depan kami. Angker, wingit, dan mistis, suasana yang kami tangkap ketika melihat pemandangan itu. Terlebih di sebelah in memorium tadi tertancap kokoh dua pohon besar seolah seperti dua orang raksasa yang menambah kesan angker tempat tersebut. Sejenak kami terdiam, dan entah mungkin karena semua merasa ketakutan atau apa, spontan saja kami melanjutkan perjalanan kami menuju pos selanjutnya, Pos 3 Peken Setan (Pestan).
Pemandangan malam kala itu benar-benar cerah, bulan bersinar memendarkan cahayanya tanpa bersembunyi di balik awan. Sementara jika melihat ke bawah terlihat kerlap-kerlip lampu kota-kota di sekitar Gunung Sumbing yang dari kejauhan bagaikan kumpulan kunang-kunang yang bergerombol di gelapnya malam. Medan mulai terbuka, rimbunnya hutan sudah tidak nampak lagi, tergantikan rangkaian tumbuhan perdu khas gunung. Puncak belumlah terlihat, jajaran bukit terpampang jelas di kanan kiri medan yang kami lalui, nampak gersang dan terjal memang. Dan tentu saja medan masih saja menanjak dan terus menanjak serta dipenuhi debu-debu yang bertebaran menambah sesak nafas kami. akhirnya  kami tiba di Krendengan, yaitu tempat agak datar antara Pos 2 dan Pos 3 dan sejenak beristirahat sembari menikmati cerahnya pemandangan malam.
Dan, sekitar pukul 01.00 dinihari sampailah kami di Pos 3 Pestan (Peken Setan) atau Pasar Setan. Nama yang cukup membuat bulu kuduk berdiri bukan?. Seperti halnya di gunung lain tempat bernama Pasar Setan pastilah ada seperti di Slamet, Lawu, atau Pasar Bubrah Merapi. Pasar setan Sumbing merupakan tempat terbuka dan luas yang bisa didirikan puluhan tenda. Pos ini juga menjadi tempat pertemuan antara jalur baru dan jalur lama via Garung. Di tempat ini, karena merupakan tempat terbuka maka akan sangat riskan sekali jika mendirikan tenda di saat angin bertiup sangat kencang. Hanya batu-batuan saja dan ada beberapa celah kecil yang bisa dijadikan tempat berlindung yang aman.
Ketika itu angin bertiup sangat kencang dan tidak memungkinkan bagi kami melanjutkan perjalanan. Apalagi kondisi tubuh yang sudah didera kelelahan memaksa kami harus menyandarkan tas keril kami dan merebahkan tubuh di atas hamparan rumput kering. Ya, merebahkan tubuh di atas hamparan rumput kering bukan di dalam tenda, karena memang saat itu kami sengaja tidak membawa tenda. Padahal angin sangat kencang dan menerbangkan debu serta membuat badan semakin menggigil kedinginan. Tidak ada bagian tubuh kami yang tidak kami tutupi dengan pakaian penghangat. Hanya bagian wajah kami yang tak tertutupi lembaran-lembaran kain penghangat dan pelindung tubuh. Suhu udara malam itu sebenarnya tidaklah terlalu dingin, mungkin berkisar antara 15-10 derajat Celsius. Tetapi angin yang bertiup sangat kencang yang dari suaranya saja sudah menyeramkan membuat badan kami menggigil kedinginan menahan angin yang masuk ke tubuh melalui celah posi-pori.
Dengan terlindungi sebuah gundukan tanah di atas dan samping kanan kami, kamipun melepas lelah dengan memejamkan mata berharap tenaga kembali lagi terkumpul setelahnya. Hanya Harits yang masih terjaga di antara kami, sembari menghisap batangan-batangan tembakau untuk sedikit mengusir rasa dinginnya. Sesaat kemudian, Harits menyadarkanku dari tidurku yang mungkin hanya 10 menit saja. “Ko, bangun Ko, masak di tempat rawan seperti ini tidur semua? Temani aku Ko”. Kalimat Harits yang berusaha membangunkanku itu seketika membuatku langsung terjaga. Dia ternyata merasa was-was dan takut tidak seperti biasanya, terlihat dari cara dia membangunkanku yang agak tergesa-gesa. Ketika aku desak apa yang sebenarnya terjadi, Harits hanya melemparkan senyuman dan berkata “Gak ada apa-apa kok Ko”. Saat itu pula aku yakin bahwa telah terjadi hal aneh dialami Harits. Masih saja aku memandangi wajah Harits dengan penuh rasa penasaran, tiba-tiba dia menyergahku seraya berkata “Nanti saja saat kita sudah turun, aku ceritakan semuanya”.
Kontan saja, aku merasa tambah penasaran tetang apa yang telah dialami Harits. Bulu kudukku merinding ditambah badanku yang menggigil menahan dinginnya malam itu. Namun rasa kantuk yang menderaku, membuatku tak kuasa untuk merebahkan tubuhku dan mencoba kembali lagi memejamkan mataku. Apalagi saat itu aku lihat Sukro bangun dari tidurnya, ah berarti aku tidur juga ga masalah, toh Harits sudah ditemani Sukro, pikirku. Sebenarnya aku hanya mencoba memejamkan mata saja, namun tetap tak bisa. Pikiranku menerawang jauh mengingat kejadian-kejadian aneh yang menimpa ku tadi ditambah lagi perkataan Harits baru saja yang membuat aku bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi?. Rasa takut yang menyergapku memunculkan ingatan cerita mistis para pendaki di Sumbing khususnya saat berada di Pestan. Menurut cerita itu, kadangkala di Pos 3 ini mereka akan ditampakkan oleh sesosok makhluk gaib berwujud kakek-kakek tua menggunakan pakaian serba putih. Keberadaannya tersebut tidaklah mengganggu selama pendaki menjaga etika dan sopan santun serta mematuhi segala pantangan di Gunung Sumbing. Belum hilang rasa penasaranku dan belum juga terlelap dari tidurku, Harits kembali membangunkanku seraya menepuk-nepuk kakiku. Dia memberiku isyarat agar kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya.
Perjalanan kami lanjutkan meninggalkan Pos 3 Pestan menuju Pos 4 Pasar Watu. Kali ini langkah kaki kami semakin saja melambat dan terlihat gerak tubuh lunglai serta menggigil menahan dinginnya udara saat itu. Untuk menapakkan kaki selangkah saja sangatlah terasa berat, apalagi beban berat dari keril kami yang semakin menghujam pinggul kami membuat perjalanan begitu menyiksa. Medan berubah dari tanah merah yang berdebu menjadi medan batu yang keras dan terjal. Dan tentu saja masih tetap menanjak dan menanjak. Konsentrasi kamipun buyar, terlihat dari beberapa kali kami terpeleset licinnya batu yang ada di medan lintasan. Sampai-sampai Gigih mengalami ketidakseimbangan dan hampir saja terperosok ke jurang yang menganga di samping kanan kiri kami. Ia mengambil sebilah tongkat ranting pohon untuk membantu tumpuan kakinya. Namun, tetap saja tubuh gontainya tak seimbang menahan beban dan tanjakan medan. Seketika tongkat kayu Gigih menyodok tas Wawan yang berada di depannya sehingga tumpahlah plastik sampah yang di bawa Wawan. Dengan sigap mereka membenahi bungkus-bungkus makanan instan yang berceceran di tanah dan mengemasinya kembali ke dalam plastik.
Bagi kami, dalam mendaki gunung mengenal prinsip 3 jangan, yaitu; jangan meninggalkan apapun kecuali kenangan, jangan memetik apapun kecuali pengalaman, dan jangan mengambil apapun kecuali gambar. Namun tak jarang orang mengabaikan kesemuanya itu, lihat saja beberapa gunung yang ada di pulau Jawa. Selain mengalami kerusakan alam seperti vegetasi yang mulai jarang akibat kebakaran, dan kecerobohan para pendaki. Juga banyak sekali bentuk-bentuk vandalisme dan prasasti berupa coretan-coretan dari tangan yang tak bertanggung jawab yang mengaku “Pecinta Alam”. Belum lagi pemandangan sampah-sampah bekas makananyang berserakan yang ditinggalkan para pendaki begitu saja, sangat kontras dengan hijau dan sejuknya nuansa pegunungan. Bukankah lebih baik kita menghargai alam dengan menjaga kelestarian, kebersihan, dan tentu saja keindahan alam?. Tentu saja alam akan berbalik membalas budi kita dengan tetap menjaga kelangsungan hidup anak cucu kita kelak.
Kembali ke cerita, sekitar satu jam lebih kami melangkah dan tibalah kami di Pos 4 Pasar Watu tepat pukul 3 dinihari. Pos 4 merupakan pos yang sempit dan menanjak, ditandai dengan adanya bongkahan-bongkahan batu besar di persimpangan jalan. Bagi para pendaki, hendaknya mengambil jalan melipir ke samping kiri dari pos yang agak menurun, jangan mengambil arah lurus naik karena merupakan jalan buntu. Terhitung sudah 8 jam kami berjalan dari basecamp Garung tadi sore. Kami sedikit tertegun dan seolah tidak percaya, bahwa kami telah menempuh perjalanan selama itu. Angin masih saja bergejolak menderu-deru bagai auman singa yang lapar, udara masih saja berhasrat menusuk pori-pori kulit kami bagai sembilu menambah dinginnya pagi hari itu. Sementara medan masih tetap saja menanjak dan terjal berupa medan bebatuan yang keras. Badan juga sudah tidak kuasa menghimpun tenaga untuk melanjutkan perjalanan, seiring rasa lelah yang mendera dan menghujani tubuh kami.
Dan akhirnya, di bawah batu-batu besar tepat di pertigaan Pos 4 Pasar Watu, kami kembali lagi beristirahat  sembari menunggu angin agak sedikit mereda dan berharap dapat melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya. Semangat boleh saja membara, tetapi kondisi fisik yang sudah drop akhirnya memaksa kami tertidur lelap di antara batu-batu besar. Harapan untuk melihat sunrise di puncak buntu akhirnya sirna ketika kami terbangun dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Padahal perjalanan masih ada sekitar 2 jam lagi untuk mencapai puncak, aku yang sudah terbangun menjadi pesimis. Apalagi angin masih sangat kencang dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Bahaya sekali jika terus begini, mengingat medan selanjutnya yang akan kami lalui adalah medan terbuka dimana jalur pendakian tepat berada di pinggir jurang. Dengan kondisi angin yang seperti ini, akan sangat riskan sekali jika kami nekat melanjutkan perjalanan karena bisa saja kami terhempas dengan mudah oleh angin yang bertiup kencang. Prinsip selanjutnya lagi adalah, jangan melawan keganasan alam. Berbekal prinsip itu aku mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan memilih turun. Tetapi bagaimanapun juga keputusan tim adalah lebih baik. Maka, aku menanyakan pendapat keempat kawanku, apakah melanjutkan perjalanan dengan resiko yang besar, atau memilih turun dengan konsekuensi kami gagal mencapai puncak?.
Keempat temanku memilih opsi kedua, sedangkan Harits bersikap netral. Maka dengan berat hati, kamipun turun namun tidak ada raut wajah kecewa di antara teman-temanku meskipun kami gagal menuju puncak Buntu.Bagi kami,  esensi dari pendakian gunung bukanlah hanya terletak dari kepuasan mencapai puncak semata, lebih dari itu, semangat kebersamaan, perjuangan yang berat, serta bagaimana kita bertahan atau survive dari segala kondisi yang tidak mengenakkan selama di gununglah yang merupakan kepuasan tersendiri bagi kami. meskipun untuk kedua kali ini aku gagal ke puncak Sumbing, namun aku masih saja berbangga diri dan salut kepada teman-temanku semua. “Gak papa lah Ek, bisa dicoba lain kali”. Seru  Ugi kepadaku sebagai pengobat rasa kekecewaan.
Sejenak sebelum kami turun kembali ke Pos 3, kami menyempatkan buang air kecil terlebih dahulu. Namun kali ini kami tidak begitu saja kencing di tempat terbuka, namun memasukkan air seni kami ke dalam botol minuman bekas. Bagaimanapun kami tetap harus mematuhi segala pantangan, dan peraturan yang berlaku di tempat dimana kami berada terlebih lagi di gunung yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar. Memang benar, jika kita hendak buang air di Gunung Sumbing terlebih setelah melewati Pos 3 sampai di daerah puncak, disarankan agar tidak sembarangan dan  menampungnya di sebuah botol plastik bekas. Percaya atau tidak percaya, tetapi kita harus tetap menghormati.
“Aneh, kok bisa hilang ya?”, celetuk Wawan. Kontan saja semua mata kami tertuju kepada Wawan mengisyaratkan rasa penasaran kami. “Apa Wan yang hilang?” tanya Sukro yang berada persis di sebelah Wawan. “Emmmm...ini lho, plastik sampah yang semalam kok tiba-tiba ilang ya? Padahal sudah tak iket kenceng lho di belakang tasku!”. “Iya ik, aku ingat betul semalam aku telah mengikatnya setelah jatuh berserakan karena tongkatku” sahut Gigih saat mendengar jawaban Wawan atas pertanyaan Sukro tadi. “Coba aku bantu cari-cari lagi, mbokan saja terbawa angin!” Seru Ugi sembari matanya menyapu tanah di sekelilingnya, namun tetap saja tidak berhasil menemukan benda yang kami cari itu. “Ayo dicari sambil turun saja!”, ajak Harits kepada kami semua, mengingat matahari sudah semakin beranjak naik dan cuaca makin terik. Aku yang sedang asyik mengeluarkan cairan beracun dari tubuhku ke dalam botol plastik pun berteriak “Bentarrrr....tunggu dulu, belum selesai nih”. Mereka memberiku waktu untuk segera menyelesaikan hajatku dan segera menggendong kerilku. Dengan tergesa-gesa akhirnya aku menyusul mereka berlima di belakang.
Perjalanan turun dari pos 4 ke pos 3 memang tidak terlalu sulit dan lama seperti waktu naik tadi malam. Kurang dari satu jam kami sudah sampai di Pos 3 Pestan. Kali ini kami berpapasan dengan tiga orang pendaki asal ibukota yang hendak naik, setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi merekapun berlalu meninggalkan kami. Memang selama perjalanan kami kemarin, kami baru kali ini berpapasan dengan pendaki lain, sebelumnya tidak ada sama sekali. Itu artinya, semalam hanya kami lah rombongan pendaki yang berada di tengah belantara Sumbing.
Matahari sudah tak terlihat malu menampakkan cahaya terangnya dan perlahan mulai menyapa kami dengan sinar hangatnya. Namun angin yang semalam mengamuk dan menderu-deru terdengar seperti suara auman singa kelaparan itu masih saja berhasrat menghempas semua benda yang dilaluinya. Bedanya, kali ini sudah tidak sekencang semalam atau dinihari tadi. Ibarat singa, yang telah dijinakkan oleh pawang semesta alam. Menyiapkan sarapan adalah pilihan yang tepat, tetapi mengingat medan terbuka di pestan dan angin yang masih saja berhembus mempersulit nyala kompor kami. akhirnya kami putuskan untuk sekedar membuat minuman hangat sembari menikmati pemandangan pagi di Sumbing. Meskipun belum sampai di puncak utama Sumbing, pemandangan yang disuguhkan di Pestan cukup eksotis. Di depan mata kami, di sebelah barat tepatnya terlihat sangat jelas gunung Sindoro yang tegak berdiri dengan puncaknya yang berbentuk kerucut sempurna, namun datar dan lurus diatasnya seolah menantang untuk di daki. Sementara dari kejauhan terlihat jajaran pegunungan Dieng bersembunyi di balik Sindoro dengan Gunung Prahu sebagai puncak tertingginya. Lebih jauh lagi, terlihat jelas puncak gunung Slamet yang seolah menyapa kami menyambut datangnya pagi.
Berbalik ke arah Timur, terlihat dua gunung Kembar lain, yakni Merbabu yang puncaknya berbukit-bukit serta Puncak Garuda Merapi berjejer tepat di sebelah selatan Merbabu. Sementara itu, seolah keduanya diawasi oleh Gunung Lawu yang berada di sisi timur jauh dengan puncaknya yang memanjang. Sungguh pemandangan yang membuat siapapun berdecak kagum mengucapkan puji syukur kepada Sang Maha Besar, Subhanallah. Kami mengambil kesempatan itu untuk kembali mengabadikan moment-moment indah itu melalui kamera saku digital yang menjadi senjata kami satu-satunya untuk mengambil gambar selama di Sumbing. Walhasil, kami merasa cukup terobati atas kegagalan kami menuju Puncak Buntu dengan berfoto-foto ria. Bahkan tak sedikit terekam ekspresi-ekspresi aneh dan unik diantara kami dalam beradu di depan kamera. Terlihat narsis dan “lebay”.

Jumat, 09 September 2011

Mencicipi Keperawanan Pulau Sempu Part I

Pulau Sempu, ya...bagi yang suka kegiatan outdoor, pecinta alam, ataupun backpackeran, mesti uda ga asing jika disebut nama itu. Selain keasrian dan keindahan segara anak, ternyata di pulau sempu bisa kita jumpai  beberapa private beach yg masih banyak yang blum tau. Penasaran? well, mari kita liat catatan saya waktu ke Pulau  Sempu 8 - 13 sept 2011...semoga membuat anda ngilerrr...hehehe
Yup...catatan perjalanan ini uda klewat berbulan-bulan yg lalu, sbenernya sih harus uda di posting di dunia maya kmaren2, tapi...karna kepadatan schedule saya mulai dari syuting, konser, show, dan bla bla bla...maka baru sekarang deh bisa sedikit share bout our amazing trip to...sempu island...aseekkkk!!!!
 
8 Sept 2011
Masih dalam suasana nan fitri, masih dalam suasana saling maaf-maafan, n masih dlam suasana liburan semester. Saya bersama tiga temen saya, Wawan (The Sam) alias Samin, Gigih si autis, n Ugi sang pecinta ketinggian

Starting point kami mulai dari stasiun kebanggaan semarang, apalagi kalo bukan stasiun poncol...seperti dugaan kami, hari itu stasiun dipadati beribu-ribu, berjuta-juta, bahkan bermilyar-milyar manusia. Maklum, masih dalam suasana arus balik orang udik ke ibukota. langsung saja begitu loket antrian di buka, saya langsung ambil posisi biar biar ga trlalu lama ngantrinya. Kali ini kita bakal nunggangin KA Matarmaja jurusan Jakarta - Malang, ya karna selain lebih murah, juga karna tujuan kita ke kota Malang, ktemu ma Kera2 Ngalam...hoho. Harga tiket per ekor Rp. 37.000, normalnya sih 28rebai bro & sist...yah,,,maklum lah,,kebiasaan orang indonesia...suka maruk...hiperbol...hehe Piss ^_^.

Stelah nunggu kreta hampir 2jam...karna ada kterlambatan (huh,,,alasan klasik) akhirnya pkul 22.10 yg kami tunggu2 akhirnya njedul  (muncul) juga. Di dalam hati saya berfikir karna arus balik, maka ntar kita bakal dapet tempat duduk. Maklum lah...selain lmanya perjalanan yg nyampe 9 jam, kami semua uda didera kelelahan gara2 tadi siang prepare ini itu buat kita nanti disana. apalagi si Gigih baru aja nyampe smg dari brebes tadi jam 3. Salutt Gih buat semangat keautisanmu...hagz.

Gubrakkk...alamakkk...ternyata...dugaan saya salah besar,,,bgitu kami masuk gerbong,,,pemandangan tak lazim kami temukan, no space for new passenger...hufth...kami langsung pindah ke gerbong satunya....H2C alias harap2 cemas bakal dapet secuil tempat buat pantat ni biar kagak capek. Malahan cuma dapet tempat buat tas2 kami yang super gedong, hahaha. yah...itu berkat bantuan pasutri yng kasihan ngliat kami gendong tas segitu gedenya dgn posisi berdiri. makasih mas, mbak,,,smoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah...lhoh?haha...just kidding.
Bagi wawan, inilah pengalaman pertamanya naik Kreta, maklum...di sukunya dia jaoh di pedalaman sono no...kagak ada kreta ginian, yg ada mah cuma kuda, lha wong sumber air sujauh...xixixi.

Selalu mnjadi tradisi kami, ga ada istilah buat mulut untuk ga ngoceh, dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun. Selama perjalanan yang melelahkan itu, kami dihibur oleh kicauan kemresek dari Wawan. Thanks sob...berkat kamu kita smua ga ngrasain bosen meskipun harus berdiri sampe Madiun.

Bersambung.........