“Ati-ati mas, pokoke
nek nang Watu Kotak tanganmu ojo cluthak ngepek’i opo maneh nugeli wit-witan
sing nang kono, nek pengen selamet” jw (“Hati-hati mas, pokoknya misal di
Watu Kotak tanganmu jangan usil memetik apalagi mencabut pepohonan yang ada
disitu, kalau ingin selamat” Indo).
Tiba-tiba saja kalimat itu muncul dari seorang kakek-kakek
yang aku temui di pinggir jalan ketika aku bermaksud ingin menanyakan tentang
keadaan Basecamp Gunung Sumbing via jalur Garung. Tak pelak kalimat tersebut
membuatku mengerutkan dahi dan sedikit merinding memang, pasalnya sebelumnya
aku telah rajin googling, browsing, dan mencari
informasi-informasi di internet mengenai pendakian Gunung Sumbing via Garung,
Wonosobo. Dan apa yang aku temukan dari berbagai artikel dan catatan perjalanan
orang-orang yang pernah menaiki Gunung Sumbing via jalur Garung yang mereka
posting di blog, kebanyakan dari mereka mengalami hal-hal yang bersifat mistis,
ganjil, dan kadang di luar nalar. Seketika itu aku berdoa semoga saja kali ini
kami tidak mengalami hal-hal aneh dan mistis seperti yang telah mereka alami
selama pendakian di Sumbing.
Gunung Sumbing, yang berada di ketinggian 3371mdpl merupakan
gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Semeru dan Slamet. Penamaan
masyarakat atas gunung yang berada tepat di sisi timur jalan raya yang
menghubungkan Magelang – Wonosobo ini memanglah sangat beralasan. Pasalnya
apabila kita cermati, puncak gunung tersebut memang berbentuk aneh,
bergelombang, dan tak rata mirip bibir orang yang sumbing. Gunung Sumbing
dikenal juga sebagai gunung kembar bersama Gunung Sindoro yang berada di sisi
sebelah barat Gunung Sumbing. Masyarakat percaya bahwa Gunung Sumbing merupakan
suami dari Gunung Sindoro. Hal ini dibuktikan dengan adanya tempat bernama Watu
Susu (Batu Payudara) yang berada di jalur pendakian Gunung Sindoro via
Sigedang.
Dalam dunia pecinta alam, Gunung Sumbing merupakan salah
satu dari ekspedisi Triple S yang meliputi; Slamet, Sumbing, dan Sindoro. Bagi
para pecinta alam, ada kepuasan tersendiri jika mereka berhasil menaiki ketiga
gunung tersebut secara berurutan. Secara administratif, Gunung Sumbing terletak
di antara dua kabupaten, yakni Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah. Di puncak
Gunung Sumbing tepatnya di daerah Segoro Wedi terdapat petilasan dan makam
tokoh masyarakat yang bernama KI Ageng Makukuhan. Beliau dipercaya sebagai
orang pertama yang membuka hutan Gunung Sumbing untuk ditanami tembakau. Oleh
karena itu masyarakat sekitar lereng Gunung Sumbing selalu rutin melakukan
ritual dan selamatan di makam tersebut pada saat malam ke 21 bulan Ramadhan
atau malam selikuran. Ada tiga jalur pendakian yang lazim bagi pendaki, yakni
jalur Garung Kec. Kalikajar Wonosobo, jalur Cepit Kec. Bulu Temanggung, serta
jalur Bowongso Kec. Kledung Temanggung. Dari ketiga jalur tersebut, jalur
Garunglah yang paling populer bagi pendaki. Selain itu akses untuk menuju
Basecamp Garung pun sangat mudah, apabila kita menggunakan angkutan umum
berhenti saja di depan Balai Desa Butuh selanjutnya ikuti jalan masuk desa
sekitar 500m akan tiba di Basecamp.
Bisa ditebak, perjalanku kali ini adalah mendaki Gunung
Sumbing via jalur Garung. Pada kesempatan kali ini, aku bersama 5 orang temanku
yaitu Harits, Gigih, Wawan, Ugi, dan Sukro berangkat dari Semarang mengendarai
sepeda motor pada hari Jum’at 14 Oktober 2011. Selain lebih ekonomis alias irit
untuk kantong mahasiswa, dengan naik motor tingkat efisiensi waktu juga bisa
maksimal, mengingat rutinitas kami di kampus yang padat. Kami sampai di
Basecamp Garung sekitar pukul 14.30, setelah menempuh perjalanan dari Semarang
kurang lebih 3 jam. Itupun kami harus berhenti terlebih dahulu untuk melakukan
Sholat Jum’at di daerah Sumowono dan mengalami apes ketika motor yang
ditumpangi Gigih dan Wawan mengalami bocor ban.
Setelah sampai di Basecamp kami langsung disambut oleh
anggota STICKPALA, sebuah organisasi Pecinta Alam yang memang mengelola
Basecamp Garung. Setelah membayar perijinan dan administrasi lain, kami pun
sejenak melepas penat selama perjalanan sembari menunggu waktu ashar. Bagi Ugi
pendakian Sumbing kali ini adalah yang pertama dalam sejarah hidupnya,
sebelumnya Ugi selalu saja menolak apabila kami ajak naik gunung dengan
berbagai alasan dari mulai kondisi badan, mental, sampai kondisi keuangan.
Namun, selepas trip kami berbackpackeran ria di Pulau Sempu Malang libur
lebaran yang lalu, nampaknya Ugi menjadi termotivasi dan semangat untuk
menghargai karunia dan anugerah yang diberikan Allah SWT lewat kegiatan naik
gunung. Kembali ke cerita, setelah bersih-bersih, sholat dan mengisi air untuk
bekal kami selama perjalanan, kamipun bersiap-siap untuk berangkat. Perlu
diketahui, selama perjalanan tidak ada sumber air yang tersedia di jalur
pendakian. Kalaupun ada itu hanyalah sebuah sungai kering yang berada setelah Boschweisen sebelum Pos 1 yang hanya
terisi air ketika musim penghujan karenanya bagi para pendaki hendaknya mengisi
perbekalan air di Basecamp.
Jam mengarah tepat pukul 16.00 ketika aku dan rombongan
bersiap menapaki medan pendakian Sumbing yang konon katanya sangat terjal dan
menanjak. Setelah memohon do’a restu kepada Sang Khalik agar kami diberi
keselamatan selama perjalanan, kamipun tak lupa mengeluarkan alat pengambil
gambar merek Samsung milik Gigih dan
mengabadikan moment dengan background
Gunung Sumbing yang terlihat gagah dari basecamp. Kami memutuskan untuk lewat
jalur baru, karena jalur lama menurut informasi dari STICKPALA rawan longsor.
Dengan konsekuensi jalur baru lebih pendek, itu artinya trek atau medan yang
disuguhkan pun semakin menanjak dan tentu saja akan banyak menguras tenaga.
Harits, mengawali posisi di depan sebagai leader. Karena diantara kami dialah yang
sudah pernah ke Sumbing dua kali. Sementara aku berada di posisi paling
belakang sebagai sweaper karena
meskipun sudah pernah ke Sumbing sebelumnya, pada kesempatan pertama aku gagal
sampai ke puncak Buntu. Kami berbelok ke arah kanan di pertigaan setelah
Basecamp, apabila ingin melewati jalur lama pendaki harus mengambil arah lurus.
Jalan makadam perkampungan menjadi pembuka bagi derap langkah kami menuju
puncak Buntu. Sesekali kami menyapa para warga yang bercengkrama di depan rumah
mereka dengan sapaan khas penduduk jawa.
Sekitar 200meter kami melewati jalan makadam, tibalah kami
di batas perkampungan penduduk dengan lahan penduduk. Jalur makadam pun berubah
menjadi jalan tanah berdebu karena waktu itu musim kemarau. Haris langsung
tersenyum dan tiba-tiba melontarkan kalimat “Selamat datang Di Sumbing”, aku
belum mengerti maksud kalimat yang Haris lontarkan sampai aku melihat bahwa
tanjakan sudah berada di depanku. Inilah Sumbing, tanjakan seolah-olah tak ada
habisnya. Trek selamat datang pun ya tanjakan juga, hehehe. Jalur terus saja
menanjak melewati perkebunan tembakau sementara debu memenuhi hidung kami
karena terpicu langkah kaki kami. Sesekali kami berhenti untuk menghela nafas
dan sedikit menyandarkan tas keril bawaan kami. Namun sejauh mata memandang
jalur tetap saja menanjak dan terus menanjak. Tidak ada bonus trek semacam di
Lawu via Cemoro Kandang ataupun Merbabu via Cunthel dan Thekelan. Sampai-sampai
Ugi terkecoh, disangkanya setelah belokan trek agak sedikit melandai. Namun
ternyata tetap saja menanjak dan terus menanjak. Selamat Ug, anda kecelek (tertipu.red) hehehe.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanan kami sampai di
Boschweisen, yaitu batas antara perkebunan penduduk dengan hutan Gunung
Sumbing. Sayup-sayup terdengar suara azan yang datang dari surau-surau di
perkampungan menandakan waktu Maghrib telah tiba. Harits memutuskan untuk
istirahat dan menunggu sampai waktu sholat Isya sembari kami menghangatkan
badan dengan ngeteh dan makan cemilan. Tiba-tiba aku teringat akan cerita di
sebuah blog yang mengatakan bahwa kalau kita sedang beruntung atau apes
tepatnya, di daerah Boschweisen ini
kita bisa bertemu dengan sosok setan Belanda yang wajahnya hancur. Sontak saja
bulu kudukku merinding mengingat tulisan di blog tersebut. Tetapi, aku selalu
ingat kalau kita sedang berada di gunung mindset
kita jangan mengarah kepada hal-hal bersifat tak kasat mata seperti itu, berpikirlah
positif dan tetap selalu ingat Allah SWT.
Waktu istirahat kami habiskan untuk saling bercengkrama dan
berkelakar satu sama lain, guyonan mulai terlontar dari mulut Wawan dan Gigih
dan senyuman mulai mengembang diantara aku, Harits, Ugi dan Sukro. Sebelumnya
diantara Ugi, Wawan, dan Gigih belum saling mengenal Sukro dan Harits. Berbeda
dengan aku yang sudah akrab dengan mereka semua, Harits adalah teman SMA ku
dulu, sekaligus teman kosku sewaktu aku masih menimba ilmu di IAIN. Pun juga
Sukro, dia juga teman sekosku dulu di Ngaliyan. Sementara Ugi, Wawan, dan Gigih
adalah sahabat-sahabatku di Jurusan BK UNNES.
“Ayo, saatnya berangkat!!” ajak Harits kepada kami semua
ketika dia rasa waktu istirahat kita di Boschweisen
telah cukup. Sesaat sebelum melanjutkan perjalanan, Harits menginstruksikan
kepada kami agar selalu bersama dan jangan sampai ada yang terpisah mengingat
waktu itu adalah perjalanan malam. Dia bertindak sebagai leader yang membuka jalur di depan, sementara aku berada di posisi
juru kunci sebagai sweaper mengawal
keempat teman yang lain. Entah mengapa ketika kaki baru saja melangkah,
jantungku serasa berdegup kencang seakan sebuah bom ketakutan yang terpicu
detonator cerita-cerita gaib. Hening dan sepi, hanya suara binatang malam yang
menyelimuti gendang telinga kami. Mulut kami pun tak bergeming seakan
terbungkam menahan suara, hanya suara nafas yang tersengal-sengal karena
kelelahan yang terdengar. Cahaya bulan yang mengintip dari celah-celah pohon
pinus serta seberkas sinar dari lampu senter kami sajalah yang menjadi sumber
cahaya kami selama perjalanan. Jalan masih saja menanjak di tengah hutan pinus
dan bahkan semakin menanjak dibandingkan dengan medan yang melewati perkebunan
tembakau tadi.
Mindsetku kembali
tertuju pada hal-hal mistis yang aku baca, bahkan meskipun mulutku
berkomat-kamit berdo’a dan memohon keselamatan tetap saja nyaliku menciut.
Seperti halnya seorang paranoid, aku terus saja membayangkan kalau-kalau
cerita-cerita mistis itu kami alami sendiri kali ini. Benar-benar tidak logis
kali ini, tak ayal seketika itu juga bulu kudukku merinding dan degup jantungku
semakin kencang saja. Sampai aku merasa beberapa kali tengkukku ada yang
meniup, namun ketika aku menoleh ke belakang jelas tidak ada siap-siapa. Hal
itu terjadi bebrapa kali, namun aku tetap berfikir bahwa itu hanya halusinasiku
saja.
“Istirahat Rits” pintaku kepada Harits ketika kami menemukan
tanah agak lapang di sebelah jalur pendakian setelah satu jam perjalanan dari Boschweisen tadi. Selain
karena kami telah merasa kehilangan tenaga akibat medan yang menanjak, aku juga
was-was akan kejadian aneh tadi. Aku pun menceritakan apa yang aku alami kepada
Harits. Maklum saja, di antara kami Harits lah yang mempunyai sixth sense atau indra keenam khususnya
kelebihan untuk melihat hal-hal yang tak kasat mata. Dia menghimbauku nanti
ketika dalam perjalanan setiap 5 menit sekali aku memanggil namanya sebagai
kode. Ini dimaksudkan agar jarak antara aku dan Harits tetap aman dan tercover, dan akupun mengiyakan.
Perjalanan menuju pos 2 kami lanjutkan, belum ada 5 menit
berjalan aku merasakan hal aneh seperti tadi, kali ini tiupannya semakin keras.
Padahal tak ada angin yang bertiup kencang saat itu. Namun, kali ini seolah aku
kehilangan keberanianku untuk menoleh kebelakang dan memastikan bahwa itu semua
hanya halusinasi. Terus dan terus saja aku mengalami hal itu, sampai-sampai aku
percepat kode memanggil nama Harits, bahkan berulang kali aku panggil setiap
dua menit. Terlihat jelas nada panggilku terdengar seperti orang yang
ketakutan. Apalagi saat aku meminta Sukro yang berjalan di depanku untuk
bergantian menjadi sweaper di
tolaknya.
Aku merasakan perjalanan kali ini begitu lama. Disamping karena
medan yang ekstrim dan menguras tenaga kami, ditambah pula dengan adanya
kejadian-kejadian aneh yang menimpaku tadi. Akhirnya setelah 2 jam berjalan
kami sampai di Pos 2 Gatakan. Di pos 2 Gatakan terdapat sebuah shelter yang bisa digunakan para pendaki
untuk beristirahat dan berteduh dari teriknya sinar matahari yang menyengat
ataupun dari derasnya air hujan yang membasahi tubuh. Lagi-lagi aku teringat
artikel yang aku baca mengenai pengalaman mistis para pendaki. Nama Gatakan
berasal dari bahasa Jawa yang berarti usil atau suka mengusili. Konon katanya,
di Pos 2 inilah para pendaki sering diusili oleh sesosok sundel bolong yang
sering meampakkan wujudnya dan tak jarang mengganggu para pendaki yang bermalam
di pos ini.
Jam menunjukkan pukul
22.00 ketika Harits memutuskan untuk beristirahat dan mengisi tenaga dengan
memasak mie instan yang menjadi menu utama kami. Dalam hati sebenarnya aku
menolak untuk berhenti, tetapi mengingat kondisi badan kami yang sudah
kelelahan dan adanya demonstrasi besar-besaran para cacing di perut kami,
dengan terpaksa aku mengiyakan namun agak berat. Setelah mengeluarkan kompor,
nesting, mie, dan lain sebagainya kamipun bersiap-siap memasak. Ketika itu, Ugi
meminta waktu untuk dia tidur. Memang terlihat jelas raut muka kelelahan pada
temanku yang satu ini. Aku, Harits, dan Sukro bertugas memasak nasi. Sementara
Wawan dan Gigih memasak mie instan. Tiba-tiba suara angin yang menderu dan
menakutkan menelusup di telinga kami, seketika itu juga menembus pori-pori kami
dan menjadikan suasana malam itu tambah mencekam. Kencangnya angin yang datang
sampai-sampai menghempaskan parafin yang kami bawa tiba-tiba terhempas oleh
angin hilang entah kemana. Beruntung Wawan masih mempunyai cadangan parafin,
sehingga kami masih tetap bisa melanjutkan memasak. Kembali ingatan cerita
mistis dan gaib menyapa otakku seiring kejadian yang aku alami tadi dan apa
yang baru saja kami alami. Memang agak sedikit aneh, sebelumnya suasana begitu
tenang dan angin malam yang bertiup pun sangat lembut, tapi kenapa tiba-tiba
kencang seperti ini? “Ah, biasalah namanya juga di gunung, bukankah alam tidak
bisa ditebak?”. Kalimat itu terlontar dari mulutku untuk sekedar menepis dan
menghilangkan ketakutanku kala itu.
Ada sekitar atu jam lebih kami beristirahat di Pos 2
Gatakan, namun tak juga hilang rasa takutku dan bahkan semakin besar saja
setelah beberapa kejadian janggal tadi. Kami lanjutkan perjalanan dengan
diiringi alunan lagu-lagu Dream Theater yang mengalun dari pemutar musik di
handphone milik Harits. Agaknya dengan ikut bersenandung menyanyikan syair
lagu-lagu Dream Theater katakutanku mulai mereda. Bahkan kicauan dari mulut
Wawan yang sangat parau mulai membahana dan agak mencairkan suasana. Ditambah
tingkah laku dan polah dari Gigih yang mengeliat seperti cacing kepanasan
menambah lucunya adegan malam kala itu. Setelah kami beranjak dari Pos 2 untuk
melanjutkan perjalanan, dengan serta merta angin kencang yang tadi bertiup dan
menyapa kami di Pos 2 tiba-tiba saja hilang dan berhenti. Kali ini aku mencoba
kembali berpikir positif, dan melogiskan kejadian ini.
Sekitar setengah jam kami berjalan dari Pos2 menembus
gelapnya malam hutan Gunung Sumbing dan keras serta terjalnya medan yang kami
lalui, sampailah kami di sebuah tanah datar yang sempit yang merupakan batas
antara hutan montane Sumbing dengan medan terbuka yang berciri khas tumbuhan
perdu seperti cantigi, eidelweis, ilalang, dan sengon gunung. Sekilas mata kami
memandang dan senter kami tertuju pada sebuah batu keramik yang bertuliskan in
memorium tepat berada di depan kami. Angker, wingit, dan mistis, suasana yang
kami tangkap ketika melihat pemandangan itu. Terlebih di sebelah in memorium
tadi tertancap kokoh dua pohon besar seolah seperti dua orang raksasa yang
menambah kesan angker tempat tersebut. Sejenak kami terdiam, dan entah mungkin
karena semua merasa ketakutan atau apa, spontan saja kami melanjutkan
perjalanan kami menuju pos selanjutnya, Pos 3 Peken Setan (Pestan).
Pemandangan malam kala itu benar-benar cerah, bulan bersinar
memendarkan cahayanya tanpa bersembunyi di balik awan. Sementara jika melihat
ke bawah terlihat kerlap-kerlip lampu kota-kota di sekitar Gunung Sumbing yang
dari kejauhan bagaikan kumpulan kunang-kunang yang bergerombol di gelapnya
malam. Medan mulai terbuka, rimbunnya hutan sudah tidak nampak lagi,
tergantikan rangkaian tumbuhan perdu khas gunung. Puncak belumlah terlihat,
jajaran bukit terpampang jelas di kanan kiri medan yang kami lalui, nampak
gersang dan terjal memang. Dan tentu saja medan masih saja menanjak dan terus
menanjak serta dipenuhi debu-debu yang bertebaran menambah sesak nafas kami.
akhirnya kami tiba di Krendengan, yaitu
tempat agak datar antara Pos 2 dan Pos 3 dan sejenak beristirahat sembari
menikmati cerahnya pemandangan malam.
Dan, sekitar pukul 01.00 dinihari sampailah kami di Pos 3
Pestan (Peken Setan) atau Pasar Setan. Nama yang cukup membuat bulu kuduk
berdiri bukan?. Seperti halnya di gunung lain tempat bernama Pasar Setan
pastilah ada seperti di Slamet, Lawu, atau Pasar Bubrah Merapi. Pasar setan Sumbing
merupakan tempat terbuka dan luas yang bisa didirikan puluhan tenda. Pos ini
juga menjadi tempat pertemuan antara jalur baru dan jalur lama via Garung. Di
tempat ini, karena merupakan tempat terbuka maka akan sangat riskan sekali jika
mendirikan tenda di saat angin bertiup sangat kencang. Hanya batu-batuan saja
dan ada beberapa celah kecil yang bisa dijadikan tempat berlindung yang aman.
Ketika itu angin bertiup sangat kencang dan tidak
memungkinkan bagi kami melanjutkan perjalanan. Apalagi kondisi tubuh yang sudah
didera kelelahan memaksa kami harus menyandarkan tas keril kami dan merebahkan
tubuh di atas hamparan rumput kering. Ya, merebahkan tubuh di atas hamparan
rumput kering bukan di dalam tenda, karena memang saat itu kami sengaja tidak
membawa tenda. Padahal angin sangat kencang dan menerbangkan debu serta membuat
badan semakin menggigil kedinginan. Tidak ada bagian tubuh kami yang tidak kami
tutupi dengan pakaian penghangat. Hanya bagian wajah kami yang tak tertutupi
lembaran-lembaran kain penghangat dan pelindung tubuh. Suhu udara malam itu
sebenarnya tidaklah terlalu dingin, mungkin berkisar antara 15-10 derajat
Celsius. Tetapi angin yang bertiup sangat kencang yang dari suaranya saja sudah
menyeramkan membuat badan kami menggigil kedinginan menahan angin yang masuk ke
tubuh melalui celah posi-pori.
Dengan terlindungi sebuah gundukan tanah di atas dan samping
kanan kami, kamipun melepas lelah dengan memejamkan mata berharap tenaga
kembali lagi terkumpul setelahnya. Hanya Harits yang masih terjaga di antara
kami, sembari menghisap batangan-batangan tembakau untuk sedikit mengusir rasa
dinginnya. Sesaat kemudian, Harits menyadarkanku dari tidurku yang mungkin
hanya 10 menit saja. “Ko, bangun Ko, masak di tempat rawan seperti ini tidur
semua? Temani aku Ko”. Kalimat Harits yang berusaha membangunkanku itu seketika
membuatku langsung terjaga. Dia ternyata merasa was-was dan takut tidak seperti
biasanya, terlihat dari cara dia membangunkanku yang agak tergesa-gesa. Ketika
aku desak apa yang sebenarnya terjadi, Harits hanya melemparkan senyuman dan
berkata “Gak ada apa-apa kok Ko”. Saat itu pula aku yakin bahwa telah terjadi
hal aneh dialami Harits. Masih saja aku memandangi wajah Harits dengan penuh
rasa penasaran, tiba-tiba dia menyergahku seraya berkata “Nanti saja saat kita
sudah turun, aku ceritakan semuanya”.
Kontan saja, aku merasa tambah penasaran tetang apa yang
telah dialami Harits. Bulu kudukku merinding ditambah badanku yang menggigil
menahan dinginnya malam itu. Namun rasa kantuk yang menderaku, membuatku tak
kuasa untuk merebahkan tubuhku dan mencoba kembali lagi memejamkan mataku.
Apalagi saat itu aku lihat Sukro bangun dari tidurnya, ah berarti aku tidur
juga ga masalah, toh Harits sudah ditemani Sukro, pikirku. Sebenarnya aku hanya
mencoba memejamkan mata saja, namun tetap tak bisa. Pikiranku menerawang jauh
mengingat kejadian-kejadian aneh yang menimpa ku tadi ditambah lagi perkataan
Harits baru saja yang membuat aku bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi?.
Rasa takut yang menyergapku memunculkan ingatan cerita mistis para pendaki di
Sumbing khususnya saat berada di Pestan. Menurut cerita itu, kadangkala di Pos
3 ini mereka akan ditampakkan oleh sesosok makhluk gaib berwujud kakek-kakek
tua menggunakan pakaian serba putih. Keberadaannya tersebut tidaklah mengganggu
selama pendaki menjaga etika dan sopan santun serta mematuhi segala pantangan
di Gunung Sumbing. Belum hilang rasa penasaranku dan belum juga terlelap dari
tidurku, Harits kembali membangunkanku seraya menepuk-nepuk kakiku. Dia
memberiku isyarat agar kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya.
Perjalanan kami lanjutkan meninggalkan Pos 3 Pestan menuju
Pos 4 Pasar Watu. Kali ini langkah kaki kami semakin saja melambat dan terlihat
gerak tubuh lunglai serta menggigil menahan dinginnya udara saat itu. Untuk
menapakkan kaki selangkah saja sangatlah terasa berat, apalagi beban berat dari
keril kami yang semakin menghujam pinggul kami membuat perjalanan begitu
menyiksa. Medan berubah dari tanah merah yang berdebu menjadi medan batu yang
keras dan terjal. Dan tentu saja masih tetap menanjak dan menanjak. Konsentrasi
kamipun buyar, terlihat dari beberapa kali kami terpeleset licinnya batu yang
ada di medan lintasan. Sampai-sampai Gigih mengalami ketidakseimbangan dan
hampir saja terperosok ke jurang yang menganga di samping kanan kiri kami. Ia
mengambil sebilah tongkat ranting pohon untuk membantu tumpuan kakinya. Namun, tetap
saja tubuh gontainya tak seimbang menahan beban dan tanjakan medan. Seketika
tongkat kayu Gigih menyodok tas Wawan yang berada di depannya sehingga
tumpahlah plastik sampah yang di bawa Wawan. Dengan sigap mereka membenahi
bungkus-bungkus makanan instan yang berceceran di tanah dan mengemasinya
kembali ke dalam plastik.
Bagi kami, dalam mendaki gunung mengenal prinsip 3 jangan,
yaitu; jangan meninggalkan apapun kecuali kenangan, jangan memetik apapun
kecuali pengalaman, dan jangan mengambil apapun kecuali gambar. Namun tak
jarang orang mengabaikan kesemuanya itu, lihat saja beberapa gunung yang ada di
pulau Jawa. Selain mengalami kerusakan alam seperti vegetasi yang mulai jarang
akibat kebakaran, dan kecerobohan para pendaki. Juga banyak sekali bentuk-bentuk
vandalisme dan prasasti berupa coretan-coretan dari tangan yang tak bertanggung
jawab yang mengaku “Pecinta Alam”. Belum lagi pemandangan sampah-sampah bekas
makananyang berserakan yang ditinggalkan para pendaki begitu saja, sangat
kontras dengan hijau dan sejuknya nuansa pegunungan. Bukankah lebih baik kita
menghargai alam dengan menjaga kelestarian, kebersihan, dan tentu saja
keindahan alam?. Tentu saja alam akan berbalik membalas budi kita dengan tetap
menjaga kelangsungan hidup anak cucu kita kelak.
Kembali ke cerita, sekitar satu jam lebih kami melangkah dan
tibalah kami di Pos 4 Pasar Watu tepat pukul 3 dinihari. Pos 4 merupakan pos
yang sempit dan menanjak, ditandai dengan adanya bongkahan-bongkahan batu besar
di persimpangan jalan. Bagi para pendaki, hendaknya mengambil jalan melipir ke
samping kiri dari pos yang agak menurun, jangan mengambil arah lurus naik
karena merupakan jalan buntu. Terhitung sudah 8 jam kami berjalan dari basecamp
Garung tadi sore. Kami sedikit tertegun dan seolah tidak percaya, bahwa kami
telah menempuh perjalanan selama itu. Angin masih saja bergejolak menderu-deru
bagai auman singa yang lapar, udara masih saja berhasrat menusuk pori-pori
kulit kami bagai sembilu menambah dinginnya pagi hari itu. Sementara medan masih
tetap saja menanjak dan terjal berupa medan bebatuan yang keras. Badan juga
sudah tidak kuasa menghimpun tenaga untuk melanjutkan perjalanan, seiring rasa
lelah yang mendera dan menghujani tubuh kami.
Dan akhirnya, di bawah batu-batu besar tepat di pertigaan
Pos 4 Pasar Watu, kami kembali lagi beristirahat sembari menunggu angin agak sedikit mereda dan
berharap dapat melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya. Semangat boleh
saja membara, tetapi kondisi fisik yang sudah drop akhirnya memaksa kami tertidur
lelap di antara batu-batu besar. Harapan untuk melihat sunrise di puncak buntu
akhirnya sirna ketika kami terbangun dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 5
pagi. Padahal perjalanan masih ada sekitar 2 jam lagi untuk mencapai puncak,
aku yang sudah terbangun menjadi pesimis. Apalagi angin masih sangat kencang
dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Bahaya sekali jika terus begini,
mengingat medan selanjutnya yang akan kami lalui adalah medan terbuka dimana
jalur pendakian tepat berada di pinggir jurang. Dengan kondisi angin yang
seperti ini, akan sangat riskan sekali jika kami nekat melanjutkan perjalanan
karena bisa saja kami terhempas dengan mudah oleh angin yang bertiup kencang.
Prinsip selanjutnya lagi adalah, jangan melawan keganasan alam. Berbekal prinsip
itu aku mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan memilih
turun. Tetapi bagaimanapun juga keputusan tim adalah lebih baik. Maka, aku
menanyakan pendapat keempat kawanku, apakah melanjutkan perjalanan dengan
resiko yang besar, atau memilih turun dengan konsekuensi kami gagal mencapai
puncak?.
Keempat temanku memilih opsi kedua, sedangkan Harits
bersikap netral. Maka dengan berat hati, kamipun turun namun tidak ada raut
wajah kecewa di antara teman-temanku meskipun kami gagal menuju puncak Buntu.Bagi
kami, esensi dari pendakian gunung
bukanlah hanya terletak dari kepuasan mencapai puncak semata, lebih dari itu,
semangat kebersamaan, perjuangan yang berat, serta bagaimana kita bertahan atau
survive dari segala kondisi yang
tidak mengenakkan selama di gununglah yang merupakan kepuasan tersendiri bagi
kami. meskipun untuk kedua kali ini aku gagal ke puncak Sumbing, namun aku
masih saja berbangga diri dan salut kepada teman-temanku semua. “Gak papa lah
Ek, bisa dicoba lain kali”. Seru Ugi
kepadaku sebagai pengobat rasa kekecewaan.
Sejenak sebelum kami turun kembali ke Pos 3, kami
menyempatkan buang air kecil terlebih dahulu. Namun kali ini kami tidak begitu
saja kencing di tempat terbuka, namun memasukkan air seni kami ke dalam botol
minuman bekas. Bagaimanapun kami tetap harus mematuhi segala pantangan, dan
peraturan yang berlaku di tempat dimana kami berada terlebih lagi di gunung
yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar. Memang benar, jika kita hendak
buang air di Gunung Sumbing terlebih setelah melewati Pos 3 sampai di daerah
puncak, disarankan agar tidak sembarangan dan
menampungnya di sebuah botol plastik bekas. Percaya atau tidak percaya,
tetapi kita harus tetap menghormati.
“Aneh, kok bisa hilang ya?”, celetuk Wawan. Kontan saja
semua mata kami tertuju kepada Wawan mengisyaratkan rasa penasaran kami. “Apa
Wan yang hilang?” tanya Sukro yang berada persis di sebelah Wawan. “Emmmm...ini
lho, plastik sampah yang semalam kok tiba-tiba ilang ya? Padahal sudah tak iket
kenceng lho di belakang tasku!”. “Iya ik, aku ingat betul semalam aku telah
mengikatnya setelah jatuh berserakan karena tongkatku” sahut Gigih saat
mendengar jawaban Wawan atas pertanyaan Sukro tadi. “Coba aku bantu cari-cari
lagi, mbokan saja terbawa angin!” Seru Ugi sembari matanya menyapu tanah di
sekelilingnya, namun tetap saja tidak berhasil menemukan benda yang kami cari
itu. “Ayo dicari sambil turun saja!”, ajak Harits kepada kami semua, mengingat
matahari sudah semakin beranjak naik dan cuaca makin terik. Aku yang sedang
asyik mengeluarkan cairan beracun dari tubuhku ke dalam botol plastik pun
berteriak “Bentarrrr....tunggu dulu, belum selesai nih”. Mereka memberiku waktu
untuk segera menyelesaikan hajatku dan segera menggendong kerilku. Dengan
tergesa-gesa akhirnya aku menyusul mereka berlima di belakang.
Perjalanan turun dari pos 4 ke pos 3 memang tidak terlalu
sulit dan lama seperti waktu naik tadi malam. Kurang dari satu jam kami sudah
sampai di Pos 3 Pestan. Kali ini kami berpapasan dengan tiga orang pendaki asal
ibukota yang hendak naik, setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi merekapun
berlalu meninggalkan kami. Memang selama perjalanan kami kemarin, kami baru
kali ini berpapasan dengan pendaki lain, sebelumnya tidak ada sama sekali. Itu artinya,
semalam hanya kami lah rombongan pendaki yang berada di tengah belantara
Sumbing.
Matahari sudah tak terlihat malu menampakkan cahaya
terangnya dan perlahan mulai menyapa kami dengan sinar hangatnya. Namun angin
yang semalam mengamuk dan menderu-deru terdengar seperti suara auman singa
kelaparan itu masih saja berhasrat menghempas semua benda yang dilaluinya.
Bedanya, kali ini sudah tidak sekencang semalam atau dinihari tadi. Ibarat
singa, yang telah dijinakkan oleh pawang semesta alam. Menyiapkan sarapan
adalah pilihan yang tepat, tetapi mengingat medan terbuka di pestan dan angin
yang masih saja berhembus mempersulit nyala kompor kami. akhirnya kami putuskan
untuk sekedar membuat minuman hangat sembari menikmati pemandangan pagi di
Sumbing. Meskipun belum sampai di puncak utama Sumbing, pemandangan yang disuguhkan
di Pestan cukup eksotis. Di depan mata kami, di sebelah barat tepatnya terlihat
sangat jelas gunung Sindoro yang tegak berdiri dengan puncaknya yang berbentuk
kerucut sempurna, namun datar dan lurus diatasnya seolah menantang untuk di
daki. Sementara dari kejauhan terlihat jajaran pegunungan Dieng bersembunyi di
balik Sindoro dengan Gunung Prahu sebagai puncak tertingginya. Lebih jauh lagi,
terlihat jelas puncak gunung Slamet yang seolah menyapa kami menyambut
datangnya pagi.
Berbalik ke arah Timur, terlihat dua gunung Kembar lain,
yakni Merbabu yang puncaknya berbukit-bukit serta Puncak Garuda Merapi berjejer
tepat di sebelah selatan Merbabu. Sementara itu, seolah keduanya diawasi oleh
Gunung Lawu yang berada di sisi timur jauh dengan puncaknya yang memanjang.
Sungguh pemandangan yang membuat siapapun berdecak kagum mengucapkan puji
syukur kepada Sang Maha Besar, Subhanallah.
Kami mengambil kesempatan itu untuk kembali mengabadikan moment-moment indah
itu melalui kamera saku digital yang menjadi senjata kami satu-satunya untuk
mengambil gambar selama di Sumbing. Walhasil, kami merasa cukup terobati atas
kegagalan kami menuju Puncak Buntu dengan berfoto-foto ria. Bahkan tak sedikit
terekam ekspresi-ekspresi aneh dan unik diantara kami dalam beradu di depan
kamera. Terlihat narsis dan “lebay”.
Puas berfoto-foto ria serta menghangatkan badan dengan
minuman hangat di Pestan, kami memutuskan untuk menuju pos 2 Gatakan. Kali ini
perasaan merinding dan takut sudah benar-benar sirna, bahkan agak lupa dengan kejadian
semalam yang cukup membuat ciut nyaliku. Lelah? Tetap saja aku merasakan hal
itu, meskipun medan menurun, namun tumpuan di lutut menjadi semakin berat.
Apalagi keril kami belum begitu ringan akibat belum berkurangnya barang bawaan
kami. medan menjadi sangat berdebu dan panas kala itu. Medan berupa tanah merah
yang berdebu dan berpasir menjadikan hidung, mata, dan mulut kami dipenuhi
partikel-partikel debu yang berterbangan. Namun, di sisi lain hal itu
menguntungkan kami. pasalnya kami tidak perlu repot-repot untuk menapaki medan selangkah
demi selangkah. Karena kita bisa saja prosotan alias meluncur bebas ke bawah,
kuncinya ada pada keseimbangan tubuh saja. Jika sudah mampu demikian, pasti
akan cepat sampai.
Kini aku berada di depan bersama Ugi dan Wawan, layaknya
anak TK yang dapat mainan baru kami bertiga asyik berseluncur di tanah berpasir
antara Pos 3 sampai In memorium tanpa memperdulikan ketiga teman kami yang di
belakang. Hingga saat aku menoleh ke belakang, jarak antara kami terpaut cukup
jauh. Kemudian, krosaaakkkkk......suara benda asing yang jatuh terdengar jelas
di telingaku. Dan selang beberapa detik kemudian terdengar suara merintih
keenakan, eh kesakitan dari mulut Wawan. Dengan serta merta ia kembali berdiri
dan turun menyusulku. Tak hanya Wawan, Ugi dan aku pun mengalami kejadian
serupa. Bahkan tak hanya sekali, dua dan bahkan tiga kali tercatat aku jatuh
karena kurangnya keseimbangan diri.
Sampailah kami kembali di Pos 2 Gatakan yang semalam membuat
bulu kudukku berdiri tegak karena ketakutan. Tapi berbeda dengan malam tadi,
kali ini kesan angker masih terasa meskipun tidak sebesar semalam. Mungkin
karena kondisi udara yang lembab dan banyaknya pohon rimbun yang menaungi
tempat tersebut. “Nah, akhirnya ketemu!, suara dari mulut Wawan tersebut keluar
begitu saja ketika ia menemukan benda berbentuk kotak berwarna putih yang
semalam diterbangkan atau mungkin sengaja disembunyikan oleh sesuatu yang tak
terlihat. Parafin yang semalam tadi tiba-tiba hilang dari pengawasan mata Wawan
dan Gigih kembali ditemukan. Anehnya, posisi dimana parafin itu ditemukan tak
jauh berada dari tempat ketika semalam mereka berdua memasak mie. Padahal,
semalam mereka telah mencari jauh di sekitar mereka namun tak sedikitpun
menemukan tanda-tanda keberadaan parafin.
Aku berusaha mengelap peluh yang menetes dari sekujur
tubuhku, menandakan aku telah banyak kehabisan cairan sambil menghisap sebatang
rokok aku menyandarkan tubuh di dalam shelter sekedar menghindari terik sinar
matahari yang mulai menyengat sekitar pukul 10 pagi kala itu. Wawan dan Ugi pun
tak jauh beda dari aku, mereka berdua juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba
saja terdengar suara langkah kaki yang dipercepat dan seolah seperti pelari
yang sangat bertenaga. Suara itu semakin jelas dan semakin jelas. Beberapa
detik kemudian muncul Sukro yang tiba menyusul kami dengan nafas yang
tersengal-sengal, ia buru-buru langsung menanggalkan keril yang dibawanya. Ada
apa gerangan? Seperti orang yang dikejar-kejar setan saja temanku ini. Kami
belum memahami maksud dan tujuan dibalik tingkah lakunya yang aneh tersebut.
Sampai ketika ia menuju rerimbunan semak-semak, sambil matanya mengawasi
keadaan di sekelilingnya, memastikan bahwa kondisi di sekitarnya aman-aman
saja. Dan, terdengar suara erangan kaku dan sumbang dari mulutnya ketika
ternyata dia hendak menelurkan hajat yang sudah memenuhi usus besarnya.
Mempersingkat cerita agar tidak terlalu panjang lebar
membahas adegan vulgar Sukro, kami pun menyempatkan diri beristirahat sembari
mengobrol satu sama lain. Dan setelahny, sebelum beranjak menuju pos
selanjutnya, kami menyempatkan berfoto-foto ria kembali. Dengan mengorbankan
kerilku yang berubah fungsi menjadi tripod, tanpa terkecuali semua personil pun
masuk dalam bidikan kamera.
Perjalanan kami lanjutkan menuju basecamp, terik matahari
semakin terasa dekat dengan ubun-ubun kami. jam menunjuk pukul 12 siang ketika
kami sampai di Boschweisen. Sejenak
beristirahat dan kemudian melanjutkan perjalanan kami menuju basecamp. Kami
sangat terganggu ketika kami melewati perkebunan tembakau. Pasalnya selain
tanah berpasir dan berdebu menghantarkan butiran-butiran tanah ke muka kami,
ditambah teriknya sinar matahari yang menyengat membakar kulit. Masih juga ada
pengendara motor trail yang memang sengaja mengangkut pupuk untuk tanaman
mereka melintas di jalan yang kami lalui. Kontan saja, aku merasakan seperti di
tengah padang pasir dengan kepulan asap dan debu yang melayang di udara.
Menjadikan kami berkali-kali harus menahan nafas dan menutupi hidung kami.
Pukul 14.00 sampailah kami di basecamp Garung. dan sejenak
setelah meregangkan otot-otot yang kaku, kami bersegera meninggalkan tempat
tersebut untu kembali menuju Semarang. Kami sempat berhenti dua kali sebelum
sampai di kos kami masing-masing. Pertama di warung makan di pinggir jalan raya
untuk mengisi perut kami yang sedari semalam masih kosong, serta di Alun-Alun
Temanggung sembari menikmati sore hari dan mengumpulkan tenaga sebelum
melanjutkan perjalanan.
Akhirnya, di Alun-Alun Temanggung inilah tersingkap segala
tabir misteri yang menyelimuti kami dalam perjalanan semalam. Satu persatu
membuka cerita ganjil yang mereka alami semalam. Akulah yang mengawali cerita
kala itu, dengan bermaksud menanyakan hal-hal aneh yang aku alami semalam
kepada Harits. Setelah mendengar ceritaku, Harits pun juga menceritakan apa
yang dia alami semalam. Bahkan lebih mistsi dari yang aku alami. Menurutnya,
semalam waktu dia menjadi leader di
depan, seringkali ia dikejutkan oleh sesosok bayangan putih yang tersorot
senter yang dibawanya. Bayangan putih itu terus saja muncul ketika Harits
mengarahkan lampu senternya untuk membuka jalur bagi kami. Merinding, takut,
pastilah, tetapi dia berusaha tetap tenang. Lalu, siapakah dan apakah kira-kira
sosok yang di jumpai Harits berulang-ulang tersebut? Apakah itu sosok seorang
kakek-kakek yang sering diceritakan para pendaki sering menampakkan diri di
depan mata para pendaki?. Waallahu a’lam
bis showab.
Menurut cerita pendaki yang mereka dapat dari tokoh
masyarakat sekitar Garung yang mereka tanyai pendapat setelah mengalami
kejadian aneh dan ganjil di Sumbing, disebutkan bahwa kakek-kakek itu adalah
penjaga Sumbing. Mungkin saja jin yang menyerupai sosok Ki Ageng Makukuhan,
beliau tidak mengganggu keberadaan pendaki selama para pendaki berlaku sopan
dan menjaga etika serta pantangan yang ada. Bahkan kadang dengan sengaja akan
mengawal pendaki yang tertinggal sendirian dan terpisah dari rombongan untuk
sampai lagi bertemu dengan rombongannya. Jika demikian, biasanya dia akan
menampakkan wujudnya sebagai seorang pendaki lain agar si pendaki yang di
temaninya tidak ketakutan. Tetapi apabila si pendaki yang ditemani tersebut
mengajak berbicara, sosok yang menyerupai pendaki tersebut hanya akan diam dan
tak menjawab. Lantas, apakah itu berarti semalam kami dikawal alias ditemani
sosok tersebut selama perjalanan?.
Setelah Harits menceritakan pengalamannya tersebut, aku
langsung berinisiatif menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di Pestan. Soalnya
Harits akan janji menceritakannya kepadaku setelah kami turun. Dan apa yang aku
dengar dari cerita Harits memang sangat tidak bisa dipercaya dan membuatku
merinding kembali. Waktu di Pestan, sesaat setelah kami semua terlelap tidur, Harits
menyempatkan berdiri dan menghitung jumlah kami berlima. Dia kaget ketika
didapatinya jumlah kami menjadi enam, padahal ia tidak menghitung dirinya
sendiri. Dia mengulangi kembali hitungannya dan kedua kalinya dia masih
mendapati jumlah kami menjadi enam orang. Dia melihat di sebelah Ugi ada
seseorang yang berbaring menyerupai kami, Harits tidak berani memastikan apakah
itu benar-benar penglihatannya ataukah hanya halusinasi belaka?. Padahal
seingatku, posisi di sebelah kanan Ugi adalah tanah agak cekung yang menurun ke
bawah, jadi tidak mungkin ada orang yang bisa berbaring di samping Ugi. Dengan
pengecualiaan jika orang tersebut mempunyai ilmu untuk meringankan tubuh dengan
cara mengambang di udara.
Ketidakpercayaan terlihat dari raut muka Ugi yang tadinya
kurang antusias mendengar cerita kami. seger ia bangkit dan menanyakan kepada
Harits. Dia mencoba meyakinkan bahwa tidak ada siapa-siapa di sebelahnya,
karena dia berada di ujung dan di sebelahnya hanya ada tanah yang agak menurun.
Semakin bingung dan penasaran saja. Lalu Ugi menimpali cerita kami dengan
menceritakan pengalamannya. Sangat mengejutkan, ketika Ugi bercerita semalam
saat perjalanan dari Boschweisen menuju pos 2, ia sempat beberapa kali
dikejutkan oleh sekelebat bayangan berwarna putih yang muncul di tengah-tengah
rerimbunan pohon pinus dan lamtoro. Namun Ugi tidak serta merta menyimpulkan
bahwa itu penampakan jin atau makhluk gaib, ia mencoba berifikir logis dan
realistis bahwa itu hanya halusinasinya saja.
Harits kembali melanjutkan ceritanya, bayangan yang sempat
ia lihat berada di samping Ugi tersebut masih belum beranjak dari penglihatan
Harits sampai kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Watu. Setelah itu Harits
tak lagi melihat bayangan berbentuk manusia tersebut, dan dia sedikit lega
ketika sampai di Pasar Watu ternyata jumlah kami kembali menjadi lima seperti
sediakala. Ternyata tidak cukup disitu saja pengalaman Harits, ketika kami
semua tanpa terkecuali tertidur di antara celah bebatuan di Pasar Watu untuk
melindungi diri dari hempasan angin yang mengaum keras. Harits bermimpi bahwa
ada sesuatu yang hilang saat itu, namun ia tidak bisa mengetahui pasti siapa
dan apakah yang hilang tersebut. Dia menjadi was-was dan terjaga dari tidurnya,
sembari berdoa agar kami semua selamat sampai nanti pulang tanpa kurang suatu
apa. Memang saat di Pasar Watu, aku melihat Haris bangun paling awal, kemudian
disusul aku dan Sukro. Dia belum habis pikir, tentang apa arti mimpinya
semalam. Sampai ketika Wawan merasa kehilangan plastik sampah yang diikatnya
kencang di belakang tas. Harits berpikiran positif dan agak lega jika
mengaitkan mimpinya tersebut dengan hilangnya plastik sampah yang ada di tas
Wawan.
Aku, Ugi, dan Sukro yang mendengar cerita itu hanya diam dan
saling memandang penuh rasa ketidak percayaan. Mendengar cerita itu, Wawan dan
Gigih yang sebelumnya asyik bercanda langsung saja terlihat antusias
mendengarkan cerita tersebut. Terakhir giliran Sukro yang menyahut dan
melengkapi pengalaman mistis kami semalam. Dia melihat sebuah benda berwarna
putih dan terjurai seperi rambut berwarna hitam yang menggantung di atas pohon
di pos in memorium setelah Pos 2. Namun ia langsung melemparkan pandangannya
dari benda tersebut dan melanjutkan perjalanan. Saat kami turun melewati in
memorium tersebut, ia memastikan tentang pemandangan menakutkan yang semalam ia
lihat. Dan setelah ia amati di atas
pohon tersebut, memang menggantung sebuah tandu pengusung yang sudah bekas dan
usang. Dia menjadi lega ketika ternyata bukan sesosok makhluk halus yang
dilihatnya, melainkan tandu usang yang mungkin dulu dipakai oleh tim SAR untuk
menyelamatkan pendaki yang terkena musibah di Sumbing. Tetapi, mengapa posisi
tandu tersebut di atas pohon? Bukannya di tanah? Apakah ada orang yang sengaja
melemparkannya ke atas? Jika iya, kurang kerjaan betul itu orang?.
Dari kami berenam, hanya Gigih dan Wawan yang tak mengalami
kejadian ganjil seperti yang kami alami. Benar saja, menurutku setan manapun
pasti akan kabur dahulu melihat sosok Wawan, jadi mana mungkin mereka berani
menakut-nakuti Wawan. Dan bagi Gigih, mungkin karena dia lebay, jadi setan mana
yang akan naksir sama orang yang lebay? :D
Itulah sekelumit kisahku dan kelima temanku tentang
pengalaman kami di Gunung Sumbing beberapa bulan yang lalu. Mungkin sebagai
pembaca yang bijak, Anda boleh percaya boleh tidak. Yang jelas cerita ini adalah
cerita nyata yang kami alami sendiri, tanpa ada unsur rekayasa sama sekali.
Karena tulisan ini tidak bertujuan komersil atau mungkin ingin meraih
popularitas melalui publikasi di dunia maya.
Tujuan tulisan ini bukan bermaksud untuk menakut-nakuti dan
menjadikan anda berfikir skeptis tentang pendakian gunung. Lebih menyuguhkan
keadaan realita yang kami alami tanpa menyampingkan unsur estetika, nilai-nilai
keindahan dan passion yang di
dapatkan dari kegiatan pendakian gunung. Mengenai hal-hal bersifat gaib,
pastilah ada dan bahkan tidak usah di gunung. Di sekitar kita, atau bahkan dalam
diri kita pun akan banyak dijumpai hal-hal bersifat tak kasat mata. Tetaplah
memegang teguh etika, sopan santun dan tata krama kita selama berada di gunung.
Jangan sekali-kali melanggar pantangan yang berlaku atau bahkan menantang
keberadaan makhluk-makhluk gaib yang ada, meskipun tidak percaya sama sekali
dengan hal-hal semacam itu, tetaplah menghormati dan mematuhinya. Terakhir,
tetap selalu ingat akan kebesaran Sang Maha Pencipta, selalu memohon
lindunganNya. Karena itulah kunci keberhasilan dan keselamatan kita selama
berada di alam terbuka, khususnya gunung.
Jaga selalu yang alam anugerahkan kepada kita, senantiasa
alam akan selalu menjaga kita. Salam lestari!!!!!
Pengalamannya hampir sama kaya pengalamanku dan temen" pas naik ke sumbing sekitar pertengahan tahun kmren..banyak bagian cerita yg sama.
BalasHapusDan masih agak trauma buat kesana lagi, apalagi smpet diputer"in waktu turun dr pos 2 ke pos 1..buat pengalaman dan pembelajaran pendakian" selanjutnya agar lbih mnjaga sikap dan mnghormati sesama makhluk tuhan yg ada disana..
Keren ceritanya... jd pngn naik gunung
BalasHapusKeren ceritanya... jd pngn naik gunung
BalasHapusSaran dari saya berdasarkan pengalaman. Jangan mndirikan tenda di pos pestan.
BalasHapusLebih turun sedikit saja. Dekat dengan tanjakan panjang.
Karna badai di pestan bisa ngelepas pasak tenda.
Dan jangan melanjutkan perjalanan sampai watu kotak jika angin di pestan sudah terasa kencang. Di karekan jarak pestan-watu kotak, sangat terbuka dan sangat miring.
Terima kasih.
0857 7367 9593
Jarak dari pestan - watu kotak sangat panjang saat arab naik.
HapusSaran dari saya berdasarkan pengalaman. Jangan mndirikan tenda di pos pestan.
BalasHapusLebih turun sedikit saja. Dekat dengan tanjakan panjang.
Karna badai di pestan bisa ngelepas pasak tenda.
Dan jangan melanjutkan perjalanan sampai watu kotak jika angin di pestan sudah terasa kencang. Di karekan jarak pestan-watu kotak, sangat terbuka dan sangat miring.
Terima kasih.
0857 7367 9593
Kmbli tersenyum ktika membaca. Krn pglaman adalah guru yg pling brhrga.sy mdaki ber 2 ckp sgkt prjln sy dn tman kr. Tman sy sdh terbiasa mdaki sndri n menejemen waktu ygbgus serta pralatan yg lmyn lgkp sy prtm x naik gn smbing n dtgl dpuncak sndrian sy bgung tkt jntg brdbr2 sy dn tmn sy naik dr pestan jm stgh4 sdh ksiangan krn dr pos 1 smp pestan di dera hujan yg ckp lbt sp jm 2dni hri bru reda. Stgh 4, km brgkt badai kbut pun msh mylimuti tp alhmdlilah tenaga badak km tetap on walau cm mknroti jm 5 lbh 15 mnit km smp punck buntu badai kbut dn angin mnusuk jemari tangan kamera pun enggan dpke sdikit momen yg d.abadikan hanya knangan jm 6 km trun dr puncak sy dtgl krn kondisi sepatu yg ane bw tk sesui medan jd licin sy ter pleset trus smp ktgl... Was2 n bgung tersingkp tkut cmpuraduk ktemu per3an sy tk tau hrus plh yg mana tp sy inggat tdi pas naik sy mlhat burung jalak trbg mdahului seakan mnunjukan jalan pdhl kbut n dnginnya mnta ampun knp brung jalak bsa hdup... Sy tepis anggpan itu dlm kbingungan ku brg jalak itu kmbli terbang n hgap di dedaunan ddpan ku n mloncat ke jalur bebatuan yg bnar n loncat lagi spt mnunjkn jalan akhrny sy brjalan trus n berpa2san dgn muda mudi yg mnanyakan puncak msh lma atau tdk smp skrg sy msh bertnya2 burung itu kq bisa hdp pdhl cuaca spt itu n it brg apa..
BalasHapustitan gel asli
BalasHapusciri ciri titan gel asli
harga titan gel
titan gel original
titan gel cara pakai
jual obat erogan
erogan asli
testimoni erogan
biomanix asli
jual biomanix di indonesia
harga biomanix di indonesia
obat penirum asli
efek samping obat penirum
cara pakai penirum
Benar sekali apa yg mas2 lihat di dkt pos memoriam dkt pohon besar tsb teringat ketika sy berkunjung ke gunung sumbi 2013 silam disapa mbak bergaun putih berambut panjang tergerai di dkt pos in memoriam dengan pohon besar rindang sbg background nya..syukurnya mereka hanya cuek tdk lebih dr itu kelakuan nya ...salam lestari
BalasHapussnow peak titanium
BalasHapussnowpeak titanium - Стерталебаречно логоводалька полика с аварах двато акровы одрания titanium dog teeth implants змелика, Сгры, доя, с одрания змелика, Сгры, доя, suppliers of metal с men\'s titanium wedding bands одрания змелика, Сгры, доя, с одрания titanium nipple jewelry змелика, titanium exhaust tubing Сгр
v429u9ciyov323 wholesale sex toys,sex chair,dildo,rabbit vibrators,wholesale sex toys,vibrators,G-Spot Vibrators,anal toys,dog dildo w739o4fodec874
BalasHapus