Jumat, 14 Oktober 2011

MERINDING DI SUMBING


“Ati-ati mas, pokoke nek nang Watu Kotak tanganmu ojo cluthak ngepek’i opo maneh nugeli wit-witan sing nang kono, nek pengen selamet” jw (“Hati-hati mas, pokoknya misal di Watu Kotak tanganmu jangan usil memetik apalagi mencabut pepohonan yang ada disitu, kalau ingin selamat” Indo).

Tiba-tiba saja kalimat itu muncul dari seorang kakek-kakek yang aku temui di pinggir jalan ketika aku bermaksud ingin menanyakan tentang keadaan Basecamp Gunung Sumbing via jalur Garung. Tak pelak kalimat tersebut membuatku mengerutkan dahi dan sedikit merinding memang, pasalnya sebelumnya aku telah rajin googling, browsing, dan mencari informasi-informasi di internet mengenai pendakian Gunung Sumbing via Garung, Wonosobo. Dan apa yang aku temukan dari berbagai artikel dan catatan perjalanan orang-orang yang pernah menaiki Gunung Sumbing via jalur Garung yang mereka posting di blog, kebanyakan dari mereka mengalami hal-hal yang bersifat mistis, ganjil, dan kadang di luar nalar. Seketika itu aku berdoa semoga saja kali ini kami tidak mengalami hal-hal aneh dan mistis seperti yang telah mereka alami selama pendakian di Sumbing.
Gunung Sumbing, yang berada di ketinggian 3371mdpl merupakan gunung tertinggi ketiga di Pulau Jawa setelah Semeru dan Slamet. Penamaan masyarakat atas gunung yang berada tepat di sisi timur jalan raya yang menghubungkan Magelang – Wonosobo ini memanglah sangat beralasan. Pasalnya apabila kita cermati, puncak gunung tersebut memang berbentuk aneh, bergelombang, dan tak rata mirip bibir orang yang sumbing. Gunung Sumbing dikenal juga sebagai gunung kembar bersama Gunung Sindoro yang berada di sisi sebelah barat Gunung Sumbing. Masyarakat percaya bahwa Gunung Sumbing merupakan suami dari Gunung Sindoro. Hal ini dibuktikan dengan adanya tempat bernama Watu Susu (Batu Payudara) yang berada di jalur pendakian Gunung Sindoro via Sigedang.
Dalam dunia pecinta alam, Gunung Sumbing merupakan salah satu dari ekspedisi Triple S yang meliputi; Slamet, Sumbing, dan Sindoro. Bagi para pecinta alam, ada kepuasan tersendiri jika mereka berhasil menaiki ketiga gunung tersebut secara berurutan. Secara administratif, Gunung Sumbing terletak di antara dua kabupaten, yakni Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah. Di puncak Gunung Sumbing tepatnya di daerah Segoro Wedi terdapat petilasan dan makam tokoh masyarakat yang bernama KI Ageng Makukuhan. Beliau dipercaya sebagai orang pertama yang membuka hutan Gunung Sumbing untuk ditanami tembakau. Oleh karena itu masyarakat sekitar lereng Gunung Sumbing selalu rutin melakukan ritual dan selamatan di makam tersebut pada saat malam ke 21 bulan Ramadhan atau malam selikuran. Ada tiga jalur pendakian yang lazim bagi pendaki, yakni jalur Garung Kec. Kalikajar Wonosobo, jalur Cepit Kec. Bulu Temanggung, serta jalur Bowongso Kec. Kledung Temanggung. Dari ketiga jalur tersebut, jalur Garunglah yang paling populer bagi pendaki. Selain itu akses untuk menuju Basecamp Garung pun sangat mudah, apabila kita menggunakan angkutan umum berhenti saja di depan Balai Desa Butuh selanjutnya ikuti jalan masuk desa sekitar 500m akan tiba di Basecamp.
Bisa ditebak, perjalanku kali ini adalah mendaki Gunung Sumbing via jalur Garung. Pada kesempatan kali ini, aku bersama 5 orang temanku yaitu Harits, Gigih, Wawan, Ugi, dan Sukro berangkat dari Semarang mengendarai sepeda motor pada hari Jum’at 14 Oktober 2011. Selain lebih ekonomis alias irit untuk kantong mahasiswa, dengan naik motor tingkat efisiensi waktu juga bisa maksimal, mengingat rutinitas kami di kampus yang padat. Kami sampai di Basecamp Garung sekitar pukul 14.30, setelah menempuh perjalanan dari Semarang kurang lebih 3 jam. Itupun kami harus berhenti terlebih dahulu untuk melakukan Sholat Jum’at di daerah Sumowono dan mengalami apes ketika motor yang ditumpangi Gigih dan Wawan mengalami bocor ban.
Setelah sampai di Basecamp kami langsung disambut oleh anggota STICKPALA, sebuah organisasi Pecinta Alam yang memang mengelola Basecamp Garung. Setelah membayar perijinan dan administrasi lain, kami pun sejenak melepas penat selama perjalanan sembari menunggu waktu ashar. Bagi Ugi pendakian Sumbing kali ini adalah yang pertama dalam sejarah hidupnya, sebelumnya Ugi selalu saja menolak apabila kami ajak naik gunung dengan berbagai alasan dari mulai kondisi badan, mental, sampai kondisi keuangan. Namun, selepas trip kami berbackpackeran ria di Pulau Sempu Malang libur lebaran yang lalu, nampaknya Ugi menjadi termotivasi dan semangat untuk menghargai karunia dan anugerah yang diberikan Allah SWT lewat kegiatan naik gunung. Kembali ke cerita, setelah bersih-bersih, sholat dan mengisi air untuk bekal kami selama perjalanan, kamipun bersiap-siap untuk berangkat. Perlu diketahui, selama perjalanan tidak ada sumber air yang tersedia di jalur pendakian. Kalaupun ada itu hanyalah sebuah sungai kering yang berada setelah Boschweisen sebelum Pos 1 yang hanya terisi air ketika musim penghujan karenanya bagi para pendaki hendaknya mengisi perbekalan air di Basecamp.
Jam mengarah tepat pukul 16.00 ketika aku dan rombongan bersiap menapaki medan pendakian Sumbing yang konon katanya sangat terjal dan menanjak. Setelah memohon do’a restu kepada Sang Khalik agar kami diberi keselamatan selama perjalanan, kamipun tak lupa mengeluarkan alat pengambil gambar merek Samsung milik Gigih dan mengabadikan moment dengan background Gunung Sumbing yang terlihat gagah dari basecamp. Kami memutuskan untuk lewat jalur baru, karena jalur lama menurut informasi dari STICKPALA rawan longsor. Dengan konsekuensi jalur baru lebih pendek, itu artinya trek atau medan yang disuguhkan pun semakin menanjak dan tentu saja akan banyak menguras tenaga.

Harits, mengawali posisi di depan sebagai leader. Karena diantara kami dialah yang sudah pernah ke Sumbing dua kali. Sementara aku berada di posisi paling belakang sebagai sweaper karena meskipun sudah pernah ke Sumbing sebelumnya, pada kesempatan pertama aku gagal sampai ke puncak Buntu. Kami berbelok ke arah kanan di pertigaan setelah Basecamp, apabila ingin melewati jalur lama pendaki harus mengambil arah lurus. Jalan makadam perkampungan menjadi pembuka bagi derap langkah kami menuju puncak Buntu. Sesekali kami menyapa para warga yang bercengkrama di depan rumah mereka dengan sapaan khas penduduk jawa.
Sekitar 200meter kami melewati jalan makadam, tibalah kami di batas perkampungan penduduk dengan lahan penduduk. Jalur makadam pun berubah menjadi jalan tanah berdebu karena waktu itu musim kemarau. Haris langsung tersenyum dan tiba-tiba melontarkan kalimat “Selamat datang Di Sumbing”, aku belum mengerti maksud kalimat yang Haris lontarkan sampai aku melihat bahwa tanjakan sudah berada di depanku. Inilah Sumbing, tanjakan seolah-olah tak ada habisnya. Trek selamat datang pun ya tanjakan juga, hehehe. Jalur terus saja menanjak melewati perkebunan tembakau sementara debu memenuhi hidung kami karena terpicu langkah kaki kami. Sesekali kami berhenti untuk menghela nafas dan sedikit menyandarkan tas keril bawaan kami. Namun sejauh mata memandang jalur tetap saja menanjak dan terus menanjak. Tidak ada bonus trek semacam di Lawu via Cemoro Kandang ataupun Merbabu via Cunthel dan Thekelan. Sampai-sampai Ugi terkecoh, disangkanya setelah belokan trek agak sedikit melandai. Namun ternyata tetap saja menanjak dan terus menanjak. Selamat Ug, anda kecelek (tertipu.red) hehehe.
Setelah kurang lebih dua jam perjalanan kami sampai di Boschweisen, yaitu batas antara perkebunan penduduk dengan hutan Gunung Sumbing. Sayup-sayup terdengar suara azan yang datang dari surau-surau di perkampungan menandakan waktu Maghrib telah tiba. Harits memutuskan untuk istirahat dan menunggu sampai waktu sholat Isya sembari kami menghangatkan badan dengan ngeteh dan makan cemilan. Tiba-tiba aku teringat akan cerita di sebuah blog yang mengatakan bahwa kalau kita sedang beruntung atau apes tepatnya, di daerah Boschweisen ini kita bisa bertemu dengan sosok setan Belanda yang wajahnya hancur. Sontak saja bulu kudukku merinding mengingat tulisan di blog tersebut. Tetapi, aku selalu ingat kalau kita sedang berada di gunung mindset kita jangan mengarah kepada hal-hal bersifat tak kasat mata seperti itu, berpikirlah positif dan tetap selalu ingat Allah SWT.
Waktu istirahat kami habiskan untuk saling bercengkrama dan berkelakar satu sama lain, guyonan mulai terlontar dari mulut Wawan dan Gigih dan senyuman mulai mengembang diantara aku, Harits, Ugi dan Sukro. Sebelumnya diantara Ugi, Wawan, dan Gigih belum saling mengenal Sukro dan Harits. Berbeda dengan aku yang sudah akrab dengan mereka semua, Harits adalah teman SMA ku dulu, sekaligus teman kosku sewaktu aku masih menimba ilmu di IAIN. Pun juga Sukro, dia juga teman sekosku dulu di Ngaliyan. Sementara Ugi, Wawan, dan Gigih adalah sahabat-sahabatku di Jurusan BK UNNES.
“Ayo, saatnya berangkat!!” ajak Harits kepada kami semua ketika dia rasa waktu istirahat kita di Boschweisen telah cukup. Sesaat sebelum melanjutkan perjalanan, Harits menginstruksikan kepada kami agar selalu bersama dan jangan sampai ada yang terpisah mengingat waktu itu adalah perjalanan malam. Dia bertindak sebagai leader yang membuka jalur di depan, sementara aku berada di posisi juru kunci sebagai sweaper mengawal keempat teman yang lain. Entah mengapa ketika kaki baru saja melangkah, jantungku serasa berdegup kencang seakan sebuah bom ketakutan yang terpicu detonator cerita-cerita gaib. Hening dan sepi, hanya suara binatang malam yang menyelimuti gendang telinga kami. Mulut kami pun tak bergeming seakan terbungkam menahan suara, hanya suara nafas yang tersengal-sengal karena kelelahan yang terdengar. Cahaya bulan yang mengintip dari celah-celah pohon pinus serta seberkas sinar dari lampu senter kami sajalah yang menjadi sumber cahaya kami selama perjalanan. Jalan masih saja menanjak di tengah hutan pinus dan bahkan semakin menanjak dibandingkan dengan medan yang melewati perkebunan tembakau tadi.
Mindsetku kembali tertuju pada hal-hal mistis yang aku baca, bahkan meskipun mulutku berkomat-kamit berdo’a dan memohon keselamatan tetap saja nyaliku menciut. Seperti halnya seorang paranoid, aku terus saja membayangkan kalau-kalau cerita-cerita mistis itu kami alami sendiri kali ini. Benar-benar tidak logis kali ini, tak ayal seketika itu juga bulu kudukku merinding dan degup jantungku semakin kencang saja. Sampai aku merasa beberapa kali tengkukku ada yang meniup, namun ketika aku menoleh ke belakang jelas tidak ada siap-siapa. Hal itu terjadi bebrapa kali, namun aku tetap berfikir bahwa itu hanya halusinasiku saja.
“Istirahat Rits” pintaku kepada Harits ketika kami menemukan tanah agak lapang di sebelah jalur pendakian setelah satu jam  perjalanan dari Boschweisen tadi. Selain karena kami telah merasa kehilangan tenaga akibat medan yang menanjak, aku juga was-was akan kejadian aneh tadi. Aku pun menceritakan apa yang aku alami kepada Harits. Maklum saja, di antara kami Harits lah yang mempunyai sixth sense atau indra keenam khususnya kelebihan untuk melihat hal-hal yang tak kasat mata. Dia menghimbauku nanti ketika dalam perjalanan setiap 5 menit sekali aku memanggil namanya sebagai kode. Ini dimaksudkan agar jarak antara aku dan Harits tetap aman dan tercover, dan akupun mengiyakan.
Perjalanan menuju pos 2 kami lanjutkan, belum ada 5 menit berjalan aku merasakan hal aneh seperti tadi, kali ini tiupannya semakin keras. Padahal tak ada angin yang bertiup kencang saat itu. Namun, kali ini seolah aku kehilangan keberanianku untuk menoleh kebelakang dan memastikan bahwa itu semua hanya halusinasi. Terus dan terus saja aku mengalami hal itu, sampai-sampai aku percepat kode memanggil nama Harits, bahkan berulang kali aku panggil setiap dua menit. Terlihat jelas nada panggilku terdengar seperti orang yang ketakutan. Apalagi saat aku meminta Sukro yang berjalan di depanku untuk bergantian menjadi sweaper di tolaknya.
Aku merasakan perjalanan kali ini begitu lama. Disamping karena medan yang ekstrim dan menguras tenaga kami, ditambah pula dengan adanya kejadian-kejadian aneh yang menimpaku tadi. Akhirnya setelah 2 jam berjalan kami sampai di Pos 2 Gatakan. Di pos 2 Gatakan terdapat sebuah shelter yang bisa digunakan para pendaki untuk beristirahat dan berteduh dari teriknya sinar matahari yang menyengat ataupun dari derasnya air hujan yang membasahi tubuh. Lagi-lagi aku teringat artikel yang aku baca mengenai pengalaman mistis para pendaki. Nama Gatakan berasal dari bahasa Jawa yang berarti usil atau suka mengusili. Konon katanya, di Pos 2 inilah para pendaki sering diusili oleh sesosok sundel bolong yang sering meampakkan wujudnya dan tak jarang mengganggu para pendaki yang bermalam di pos ini.
 Jam menunjukkan pukul 22.00 ketika Harits memutuskan untuk beristirahat dan mengisi tenaga dengan memasak mie instan yang menjadi menu utama kami. Dalam hati sebenarnya aku menolak untuk berhenti, tetapi mengingat kondisi badan kami yang sudah kelelahan dan adanya demonstrasi besar-besaran para cacing di perut kami, dengan terpaksa aku mengiyakan namun agak berat. Setelah mengeluarkan kompor, nesting, mie, dan lain sebagainya kamipun bersiap-siap memasak. Ketika itu, Ugi meminta waktu untuk dia tidur. Memang terlihat jelas raut muka kelelahan pada temanku yang satu ini. Aku, Harits, dan Sukro bertugas memasak nasi. Sementara Wawan dan Gigih memasak mie instan. Tiba-tiba suara angin yang menderu dan menakutkan menelusup di telinga kami, seketika itu juga menembus pori-pori kami dan menjadikan suasana malam itu tambah mencekam. Kencangnya angin yang datang sampai-sampai menghempaskan parafin yang kami bawa tiba-tiba terhempas oleh angin hilang entah kemana. Beruntung Wawan masih mempunyai cadangan parafin, sehingga kami masih tetap bisa melanjutkan memasak. Kembali ingatan cerita mistis dan gaib menyapa otakku seiring kejadian yang aku alami tadi dan apa yang baru saja kami alami. Memang agak sedikit aneh, sebelumnya suasana begitu tenang dan angin malam yang bertiup pun sangat lembut, tapi kenapa tiba-tiba kencang seperti ini? “Ah, biasalah namanya juga di gunung, bukankah alam tidak bisa ditebak?”. Kalimat itu terlontar dari mulutku untuk sekedar menepis dan menghilangkan ketakutanku kala itu.
Ada sekitar atu jam lebih kami beristirahat di Pos 2 Gatakan, namun tak juga hilang rasa takutku dan bahkan semakin besar saja setelah beberapa kejadian janggal tadi. Kami lanjutkan perjalanan dengan diiringi alunan lagu-lagu Dream Theater yang mengalun dari pemutar musik di handphone milik Harits. Agaknya dengan ikut bersenandung menyanyikan syair lagu-lagu Dream Theater katakutanku mulai mereda. Bahkan kicauan dari mulut Wawan yang sangat parau mulai membahana dan agak mencairkan suasana. Ditambah tingkah laku dan polah dari Gigih yang mengeliat seperti cacing kepanasan menambah lucunya adegan malam kala itu. Setelah kami beranjak dari Pos 2 untuk melanjutkan perjalanan, dengan serta merta angin kencang yang tadi bertiup dan menyapa kami di Pos 2 tiba-tiba saja hilang dan berhenti. Kali ini aku mencoba kembali berpikir positif, dan melogiskan kejadian ini.
Sekitar setengah jam kami berjalan dari Pos2 menembus gelapnya malam hutan Gunung Sumbing dan keras serta terjalnya medan yang kami lalui, sampailah kami di sebuah tanah datar yang sempit yang merupakan batas antara hutan montane Sumbing dengan medan terbuka yang berciri khas tumbuhan perdu seperti cantigi, eidelweis, ilalang, dan sengon gunung. Sekilas mata kami memandang dan senter kami tertuju pada sebuah batu keramik yang bertuliskan in memorium tepat berada di depan kami. Angker, wingit, dan mistis, suasana yang kami tangkap ketika melihat pemandangan itu. Terlebih di sebelah in memorium tadi tertancap kokoh dua pohon besar seolah seperti dua orang raksasa yang menambah kesan angker tempat tersebut. Sejenak kami terdiam, dan entah mungkin karena semua merasa ketakutan atau apa, spontan saja kami melanjutkan perjalanan kami menuju pos selanjutnya, Pos 3 Peken Setan (Pestan).
Pemandangan malam kala itu benar-benar cerah, bulan bersinar memendarkan cahayanya tanpa bersembunyi di balik awan. Sementara jika melihat ke bawah terlihat kerlap-kerlip lampu kota-kota di sekitar Gunung Sumbing yang dari kejauhan bagaikan kumpulan kunang-kunang yang bergerombol di gelapnya malam. Medan mulai terbuka, rimbunnya hutan sudah tidak nampak lagi, tergantikan rangkaian tumbuhan perdu khas gunung. Puncak belumlah terlihat, jajaran bukit terpampang jelas di kanan kiri medan yang kami lalui, nampak gersang dan terjal memang. Dan tentu saja medan masih saja menanjak dan terus menanjak serta dipenuhi debu-debu yang bertebaran menambah sesak nafas kami. akhirnya  kami tiba di Krendengan, yaitu tempat agak datar antara Pos 2 dan Pos 3 dan sejenak beristirahat sembari menikmati cerahnya pemandangan malam.
Dan, sekitar pukul 01.00 dinihari sampailah kami di Pos 3 Pestan (Peken Setan) atau Pasar Setan. Nama yang cukup membuat bulu kuduk berdiri bukan?. Seperti halnya di gunung lain tempat bernama Pasar Setan pastilah ada seperti di Slamet, Lawu, atau Pasar Bubrah Merapi. Pasar setan Sumbing merupakan tempat terbuka dan luas yang bisa didirikan puluhan tenda. Pos ini juga menjadi tempat pertemuan antara jalur baru dan jalur lama via Garung. Di tempat ini, karena merupakan tempat terbuka maka akan sangat riskan sekali jika mendirikan tenda di saat angin bertiup sangat kencang. Hanya batu-batuan saja dan ada beberapa celah kecil yang bisa dijadikan tempat berlindung yang aman.
Ketika itu angin bertiup sangat kencang dan tidak memungkinkan bagi kami melanjutkan perjalanan. Apalagi kondisi tubuh yang sudah didera kelelahan memaksa kami harus menyandarkan tas keril kami dan merebahkan tubuh di atas hamparan rumput kering. Ya, merebahkan tubuh di atas hamparan rumput kering bukan di dalam tenda, karena memang saat itu kami sengaja tidak membawa tenda. Padahal angin sangat kencang dan menerbangkan debu serta membuat badan semakin menggigil kedinginan. Tidak ada bagian tubuh kami yang tidak kami tutupi dengan pakaian penghangat. Hanya bagian wajah kami yang tak tertutupi lembaran-lembaran kain penghangat dan pelindung tubuh. Suhu udara malam itu sebenarnya tidaklah terlalu dingin, mungkin berkisar antara 15-10 derajat Celsius. Tetapi angin yang bertiup sangat kencang yang dari suaranya saja sudah menyeramkan membuat badan kami menggigil kedinginan menahan angin yang masuk ke tubuh melalui celah posi-pori.
Dengan terlindungi sebuah gundukan tanah di atas dan samping kanan kami, kamipun melepas lelah dengan memejamkan mata berharap tenaga kembali lagi terkumpul setelahnya. Hanya Harits yang masih terjaga di antara kami, sembari menghisap batangan-batangan tembakau untuk sedikit mengusir rasa dinginnya. Sesaat kemudian, Harits menyadarkanku dari tidurku yang mungkin hanya 10 menit saja. “Ko, bangun Ko, masak di tempat rawan seperti ini tidur semua? Temani aku Ko”. Kalimat Harits yang berusaha membangunkanku itu seketika membuatku langsung terjaga. Dia ternyata merasa was-was dan takut tidak seperti biasanya, terlihat dari cara dia membangunkanku yang agak tergesa-gesa. Ketika aku desak apa yang sebenarnya terjadi, Harits hanya melemparkan senyuman dan berkata “Gak ada apa-apa kok Ko”. Saat itu pula aku yakin bahwa telah terjadi hal aneh dialami Harits. Masih saja aku memandangi wajah Harits dengan penuh rasa penasaran, tiba-tiba dia menyergahku seraya berkata “Nanti saja saat kita sudah turun, aku ceritakan semuanya”.
Kontan saja, aku merasa tambah penasaran tetang apa yang telah dialami Harits. Bulu kudukku merinding ditambah badanku yang menggigil menahan dinginnya malam itu. Namun rasa kantuk yang menderaku, membuatku tak kuasa untuk merebahkan tubuhku dan mencoba kembali lagi memejamkan mataku. Apalagi saat itu aku lihat Sukro bangun dari tidurnya, ah berarti aku tidur juga ga masalah, toh Harits sudah ditemani Sukro, pikirku. Sebenarnya aku hanya mencoba memejamkan mata saja, namun tetap tak bisa. Pikiranku menerawang jauh mengingat kejadian-kejadian aneh yang menimpa ku tadi ditambah lagi perkataan Harits baru saja yang membuat aku bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi?. Rasa takut yang menyergapku memunculkan ingatan cerita mistis para pendaki di Sumbing khususnya saat berada di Pestan. Menurut cerita itu, kadangkala di Pos 3 ini mereka akan ditampakkan oleh sesosok makhluk gaib berwujud kakek-kakek tua menggunakan pakaian serba putih. Keberadaannya tersebut tidaklah mengganggu selama pendaki menjaga etika dan sopan santun serta mematuhi segala pantangan di Gunung Sumbing. Belum hilang rasa penasaranku dan belum juga terlelap dari tidurku, Harits kembali membangunkanku seraya menepuk-nepuk kakiku. Dia memberiku isyarat agar kami melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya.
Perjalanan kami lanjutkan meninggalkan Pos 3 Pestan menuju Pos 4 Pasar Watu. Kali ini langkah kaki kami semakin saja melambat dan terlihat gerak tubuh lunglai serta menggigil menahan dinginnya udara saat itu. Untuk menapakkan kaki selangkah saja sangatlah terasa berat, apalagi beban berat dari keril kami yang semakin menghujam pinggul kami membuat perjalanan begitu menyiksa. Medan berubah dari tanah merah yang berdebu menjadi medan batu yang keras dan terjal. Dan tentu saja masih tetap menanjak dan menanjak. Konsentrasi kamipun buyar, terlihat dari beberapa kali kami terpeleset licinnya batu yang ada di medan lintasan. Sampai-sampai Gigih mengalami ketidakseimbangan dan hampir saja terperosok ke jurang yang menganga di samping kanan kiri kami. Ia mengambil sebilah tongkat ranting pohon untuk membantu tumpuan kakinya. Namun, tetap saja tubuh gontainya tak seimbang menahan beban dan tanjakan medan. Seketika tongkat kayu Gigih menyodok tas Wawan yang berada di depannya sehingga tumpahlah plastik sampah yang di bawa Wawan. Dengan sigap mereka membenahi bungkus-bungkus makanan instan yang berceceran di tanah dan mengemasinya kembali ke dalam plastik.
Bagi kami, dalam mendaki gunung mengenal prinsip 3 jangan, yaitu; jangan meninggalkan apapun kecuali kenangan, jangan memetik apapun kecuali pengalaman, dan jangan mengambil apapun kecuali gambar. Namun tak jarang orang mengabaikan kesemuanya itu, lihat saja beberapa gunung yang ada di pulau Jawa. Selain mengalami kerusakan alam seperti vegetasi yang mulai jarang akibat kebakaran, dan kecerobohan para pendaki. Juga banyak sekali bentuk-bentuk vandalisme dan prasasti berupa coretan-coretan dari tangan yang tak bertanggung jawab yang mengaku “Pecinta Alam”. Belum lagi pemandangan sampah-sampah bekas makananyang berserakan yang ditinggalkan para pendaki begitu saja, sangat kontras dengan hijau dan sejuknya nuansa pegunungan. Bukankah lebih baik kita menghargai alam dengan menjaga kelestarian, kebersihan, dan tentu saja keindahan alam?. Tentu saja alam akan berbalik membalas budi kita dengan tetap menjaga kelangsungan hidup anak cucu kita kelak.
Kembali ke cerita, sekitar satu jam lebih kami melangkah dan tibalah kami di Pos 4 Pasar Watu tepat pukul 3 dinihari. Pos 4 merupakan pos yang sempit dan menanjak, ditandai dengan adanya bongkahan-bongkahan batu besar di persimpangan jalan. Bagi para pendaki, hendaknya mengambil jalan melipir ke samping kiri dari pos yang agak menurun, jangan mengambil arah lurus naik karena merupakan jalan buntu. Terhitung sudah 8 jam kami berjalan dari basecamp Garung tadi sore. Kami sedikit tertegun dan seolah tidak percaya, bahwa kami telah menempuh perjalanan selama itu. Angin masih saja bergejolak menderu-deru bagai auman singa yang lapar, udara masih saja berhasrat menusuk pori-pori kulit kami bagai sembilu menambah dinginnya pagi hari itu. Sementara medan masih tetap saja menanjak dan terjal berupa medan bebatuan yang keras. Badan juga sudah tidak kuasa menghimpun tenaga untuk melanjutkan perjalanan, seiring rasa lelah yang mendera dan menghujani tubuh kami.
Dan akhirnya, di bawah batu-batu besar tepat di pertigaan Pos 4 Pasar Watu, kami kembali lagi beristirahat  sembari menunggu angin agak sedikit mereda dan berharap dapat melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya. Semangat boleh saja membara, tetapi kondisi fisik yang sudah drop akhirnya memaksa kami tertidur lelap di antara batu-batu besar. Harapan untuk melihat sunrise di puncak buntu akhirnya sirna ketika kami terbangun dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Padahal perjalanan masih ada sekitar 2 jam lagi untuk mencapai puncak, aku yang sudah terbangun menjadi pesimis. Apalagi angin masih sangat kencang dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Bahaya sekali jika terus begini, mengingat medan selanjutnya yang akan kami lalui adalah medan terbuka dimana jalur pendakian tepat berada di pinggir jurang. Dengan kondisi angin yang seperti ini, akan sangat riskan sekali jika kami nekat melanjutkan perjalanan karena bisa saja kami terhempas dengan mudah oleh angin yang bertiup kencang. Prinsip selanjutnya lagi adalah, jangan melawan keganasan alam. Berbekal prinsip itu aku mengambil keputusan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan memilih turun. Tetapi bagaimanapun juga keputusan tim adalah lebih baik. Maka, aku menanyakan pendapat keempat kawanku, apakah melanjutkan perjalanan dengan resiko yang besar, atau memilih turun dengan konsekuensi kami gagal mencapai puncak?.
Keempat temanku memilih opsi kedua, sedangkan Harits bersikap netral. Maka dengan berat hati, kamipun turun namun tidak ada raut wajah kecewa di antara teman-temanku meskipun kami gagal menuju puncak Buntu.Bagi kami,  esensi dari pendakian gunung bukanlah hanya terletak dari kepuasan mencapai puncak semata, lebih dari itu, semangat kebersamaan, perjuangan yang berat, serta bagaimana kita bertahan atau survive dari segala kondisi yang tidak mengenakkan selama di gununglah yang merupakan kepuasan tersendiri bagi kami. meskipun untuk kedua kali ini aku gagal ke puncak Sumbing, namun aku masih saja berbangga diri dan salut kepada teman-temanku semua. “Gak papa lah Ek, bisa dicoba lain kali”. Seru  Ugi kepadaku sebagai pengobat rasa kekecewaan.
Sejenak sebelum kami turun kembali ke Pos 3, kami menyempatkan buang air kecil terlebih dahulu. Namun kali ini kami tidak begitu saja kencing di tempat terbuka, namun memasukkan air seni kami ke dalam botol minuman bekas. Bagaimanapun kami tetap harus mematuhi segala pantangan, dan peraturan yang berlaku di tempat dimana kami berada terlebih lagi di gunung yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar. Memang benar, jika kita hendak buang air di Gunung Sumbing terlebih setelah melewati Pos 3 sampai di daerah puncak, disarankan agar tidak sembarangan dan  menampungnya di sebuah botol plastik bekas. Percaya atau tidak percaya, tetapi kita harus tetap menghormati.
“Aneh, kok bisa hilang ya?”, celetuk Wawan. Kontan saja semua mata kami tertuju kepada Wawan mengisyaratkan rasa penasaran kami. “Apa Wan yang hilang?” tanya Sukro yang berada persis di sebelah Wawan. “Emmmm...ini lho, plastik sampah yang semalam kok tiba-tiba ilang ya? Padahal sudah tak iket kenceng lho di belakang tasku!”. “Iya ik, aku ingat betul semalam aku telah mengikatnya setelah jatuh berserakan karena tongkatku” sahut Gigih saat mendengar jawaban Wawan atas pertanyaan Sukro tadi. “Coba aku bantu cari-cari lagi, mbokan saja terbawa angin!” Seru Ugi sembari matanya menyapu tanah di sekelilingnya, namun tetap saja tidak berhasil menemukan benda yang kami cari itu. “Ayo dicari sambil turun saja!”, ajak Harits kepada kami semua, mengingat matahari sudah semakin beranjak naik dan cuaca makin terik. Aku yang sedang asyik mengeluarkan cairan beracun dari tubuhku ke dalam botol plastik pun berteriak “Bentarrrr....tunggu dulu, belum selesai nih”. Mereka memberiku waktu untuk segera menyelesaikan hajatku dan segera menggendong kerilku. Dengan tergesa-gesa akhirnya aku menyusul mereka berlima di belakang.
Perjalanan turun dari pos 4 ke pos 3 memang tidak terlalu sulit dan lama seperti waktu naik tadi malam. Kurang dari satu jam kami sudah sampai di Pos 3 Pestan. Kali ini kami berpapasan dengan tiga orang pendaki asal ibukota yang hendak naik, setelah mengucapkan salam dan berbasa-basi merekapun berlalu meninggalkan kami. Memang selama perjalanan kami kemarin, kami baru kali ini berpapasan dengan pendaki lain, sebelumnya tidak ada sama sekali. Itu artinya, semalam hanya kami lah rombongan pendaki yang berada di tengah belantara Sumbing.
Matahari sudah tak terlihat malu menampakkan cahaya terangnya dan perlahan mulai menyapa kami dengan sinar hangatnya. Namun angin yang semalam mengamuk dan menderu-deru terdengar seperti suara auman singa kelaparan itu masih saja berhasrat menghempas semua benda yang dilaluinya. Bedanya, kali ini sudah tidak sekencang semalam atau dinihari tadi. Ibarat singa, yang telah dijinakkan oleh pawang semesta alam. Menyiapkan sarapan adalah pilihan yang tepat, tetapi mengingat medan terbuka di pestan dan angin yang masih saja berhembus mempersulit nyala kompor kami. akhirnya kami putuskan untuk sekedar membuat minuman hangat sembari menikmati pemandangan pagi di Sumbing. Meskipun belum sampai di puncak utama Sumbing, pemandangan yang disuguhkan di Pestan cukup eksotis. Di depan mata kami, di sebelah barat tepatnya terlihat sangat jelas gunung Sindoro yang tegak berdiri dengan puncaknya yang berbentuk kerucut sempurna, namun datar dan lurus diatasnya seolah menantang untuk di daki. Sementara dari kejauhan terlihat jajaran pegunungan Dieng bersembunyi di balik Sindoro dengan Gunung Prahu sebagai puncak tertingginya. Lebih jauh lagi, terlihat jelas puncak gunung Slamet yang seolah menyapa kami menyambut datangnya pagi.
Berbalik ke arah Timur, terlihat dua gunung Kembar lain, yakni Merbabu yang puncaknya berbukit-bukit serta Puncak Garuda Merapi berjejer tepat di sebelah selatan Merbabu. Sementara itu, seolah keduanya diawasi oleh Gunung Lawu yang berada di sisi timur jauh dengan puncaknya yang memanjang. Sungguh pemandangan yang membuat siapapun berdecak kagum mengucapkan puji syukur kepada Sang Maha Besar, Subhanallah. Kami mengambil kesempatan itu untuk kembali mengabadikan moment-moment indah itu melalui kamera saku digital yang menjadi senjata kami satu-satunya untuk mengambil gambar selama di Sumbing. Walhasil, kami merasa cukup terobati atas kegagalan kami menuju Puncak Buntu dengan berfoto-foto ria. Bahkan tak sedikit terekam ekspresi-ekspresi aneh dan unik diantara kami dalam beradu di depan kamera. Terlihat narsis dan “lebay”.
Puas berfoto-foto ria serta menghangatkan badan dengan minuman hangat di Pestan, kami memutuskan untuk menuju pos 2 Gatakan. Kali ini perasaan merinding dan takut sudah benar-benar sirna, bahkan agak lupa dengan kejadian semalam yang cukup membuat ciut nyaliku. Lelah? Tetap saja aku merasakan hal itu, meskipun medan menurun, namun tumpuan di lutut menjadi semakin berat. Apalagi keril kami belum begitu ringan akibat belum berkurangnya barang bawaan kami. medan menjadi sangat berdebu dan panas kala itu. Medan berupa tanah merah yang berdebu dan berpasir menjadikan hidung, mata, dan mulut kami dipenuhi partikel-partikel debu yang berterbangan. Namun, di sisi lain hal itu menguntungkan kami. pasalnya kami tidak perlu repot-repot untuk menapaki medan selangkah demi selangkah. Karena kita bisa saja prosotan alias meluncur bebas ke bawah, kuncinya ada pada keseimbangan tubuh saja. Jika sudah mampu demikian, pasti akan cepat sampai.
Kini aku berada di depan bersama Ugi dan Wawan, layaknya anak TK yang dapat mainan baru kami bertiga asyik berseluncur di tanah berpasir antara Pos 3 sampai In memorium tanpa memperdulikan ketiga teman kami yang di belakang. Hingga saat aku menoleh ke belakang, jarak antara kami terpaut cukup jauh. Kemudian, krosaaakkkkk......suara benda asing yang jatuh terdengar jelas di telingaku. Dan selang beberapa detik kemudian terdengar suara merintih keenakan, eh kesakitan dari mulut Wawan. Dengan serta merta ia kembali berdiri dan turun menyusulku. Tak hanya Wawan, Ugi dan aku pun mengalami kejadian serupa. Bahkan tak hanya sekali, dua dan bahkan tiga kali tercatat aku jatuh karena kurangnya keseimbangan diri.
Sampailah kami kembali di Pos 2 Gatakan yang semalam membuat bulu kudukku berdiri tegak karena ketakutan. Tapi berbeda dengan malam tadi, kali ini kesan angker masih terasa meskipun tidak sebesar semalam. Mungkin karena kondisi udara yang lembab dan banyaknya pohon rimbun yang menaungi tempat tersebut. “Nah, akhirnya ketemu!, suara dari mulut Wawan tersebut keluar begitu saja ketika ia menemukan benda berbentuk kotak berwarna putih yang semalam diterbangkan atau mungkin sengaja disembunyikan oleh sesuatu yang tak terlihat. Parafin yang semalam tadi tiba-tiba hilang dari pengawasan mata Wawan dan Gigih kembali ditemukan. Anehnya, posisi dimana parafin itu ditemukan tak jauh berada dari tempat ketika semalam mereka berdua memasak mie. Padahal, semalam mereka telah mencari jauh di sekitar mereka namun tak sedikitpun menemukan tanda-tanda keberadaan parafin.
Aku berusaha mengelap peluh yang menetes dari sekujur tubuhku, menandakan aku telah banyak kehabisan cairan sambil menghisap sebatang rokok aku menyandarkan tubuh di dalam shelter sekedar menghindari terik sinar matahari yang mulai menyengat sekitar pukul 10 pagi kala itu. Wawan dan Ugi pun tak jauh beda dari aku, mereka berdua juga melakukan hal yang sama. Tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki yang dipercepat dan seolah seperti pelari yang sangat bertenaga. Suara itu semakin jelas dan semakin jelas. Beberapa detik kemudian muncul Sukro yang tiba menyusul kami dengan nafas yang tersengal-sengal, ia buru-buru langsung menanggalkan keril yang dibawanya. Ada apa gerangan? Seperti orang yang dikejar-kejar setan saja temanku ini. Kami belum memahami maksud dan tujuan dibalik tingkah lakunya yang aneh tersebut. Sampai ketika ia menuju rerimbunan semak-semak, sambil matanya mengawasi keadaan di sekelilingnya, memastikan bahwa kondisi di sekitarnya aman-aman saja. Dan, terdengar suara erangan kaku dan sumbang dari mulutnya ketika ternyata dia hendak menelurkan hajat yang sudah memenuhi usus besarnya.
Mempersingkat cerita agar tidak terlalu panjang lebar membahas adegan vulgar Sukro, kami pun menyempatkan diri beristirahat sembari mengobrol satu sama lain. Dan setelahny, sebelum beranjak menuju pos selanjutnya, kami menyempatkan berfoto-foto ria kembali. Dengan mengorbankan kerilku yang berubah fungsi menjadi tripod, tanpa terkecuali semua personil pun masuk dalam bidikan kamera.
Perjalanan kami lanjutkan menuju basecamp, terik matahari semakin terasa dekat dengan ubun-ubun kami. jam menunjuk pukul 12 siang ketika kami sampai di Boschweisen. Sejenak beristirahat dan kemudian melanjutkan perjalanan kami menuju basecamp. Kami sangat terganggu ketika kami melewati perkebunan tembakau. Pasalnya selain tanah berpasir dan berdebu menghantarkan butiran-butiran tanah ke muka kami, ditambah teriknya sinar matahari yang menyengat membakar kulit. Masih juga ada pengendara motor trail yang memang sengaja mengangkut pupuk untuk tanaman mereka melintas di jalan yang kami lalui. Kontan saja, aku merasakan seperti di tengah padang pasir dengan kepulan asap dan debu yang melayang di udara. Menjadikan kami berkali-kali harus menahan nafas dan menutupi hidung kami.
Pukul 14.00 sampailah kami di basecamp Garung. dan sejenak setelah meregangkan otot-otot yang kaku, kami bersegera meninggalkan tempat tersebut untu kembali menuju Semarang. Kami sempat berhenti dua kali sebelum sampai di kos kami masing-masing. Pertama di warung makan di pinggir jalan raya untuk mengisi perut kami yang sedari semalam masih kosong, serta di Alun-Alun Temanggung sembari menikmati sore hari dan mengumpulkan tenaga sebelum melanjutkan perjalanan.
Akhirnya, di Alun-Alun Temanggung inilah tersingkap segala tabir misteri yang menyelimuti kami dalam perjalanan semalam. Satu persatu membuka cerita ganjil yang mereka alami semalam. Akulah yang mengawali cerita kala itu, dengan bermaksud menanyakan hal-hal aneh yang aku alami semalam kepada Harits. Setelah mendengar ceritaku, Harits pun juga menceritakan apa yang dia alami semalam. Bahkan lebih mistsi dari yang aku alami. Menurutnya, semalam waktu dia menjadi leader di depan, seringkali ia dikejutkan oleh sesosok bayangan putih yang tersorot senter yang dibawanya. Bayangan putih itu terus saja muncul ketika Harits mengarahkan lampu senternya untuk membuka jalur bagi kami. Merinding, takut, pastilah, tetapi dia berusaha tetap tenang. Lalu, siapakah dan apakah kira-kira sosok yang di jumpai Harits berulang-ulang tersebut? Apakah itu sosok seorang kakek-kakek yang sering diceritakan para pendaki sering menampakkan diri di depan mata para pendaki?. Waallahu a’lam bis showab.
Menurut cerita pendaki yang mereka dapat dari tokoh masyarakat sekitar Garung yang mereka tanyai pendapat setelah mengalami kejadian aneh dan ganjil di Sumbing, disebutkan bahwa kakek-kakek itu adalah penjaga Sumbing. Mungkin saja jin yang menyerupai sosok Ki Ageng Makukuhan, beliau tidak mengganggu keberadaan pendaki selama para pendaki berlaku sopan dan menjaga etika serta pantangan yang ada. Bahkan kadang dengan sengaja akan mengawal pendaki yang tertinggal sendirian dan terpisah dari rombongan untuk sampai lagi bertemu dengan rombongannya. Jika demikian, biasanya dia akan menampakkan wujudnya sebagai seorang pendaki lain agar si pendaki yang di temaninya tidak ketakutan. Tetapi apabila si pendaki yang ditemani tersebut mengajak berbicara, sosok yang menyerupai pendaki tersebut hanya akan diam dan tak menjawab. Lantas, apakah itu berarti semalam kami dikawal alias ditemani sosok tersebut selama perjalanan?.
Setelah Harits menceritakan pengalamannya tersebut, aku langsung berinisiatif menanyakan apa yang sebenarnya terjadi di Pestan. Soalnya Harits akan janji menceritakannya kepadaku setelah kami turun. Dan apa yang aku dengar dari cerita Harits memang sangat tidak bisa dipercaya dan membuatku merinding kembali. Waktu di Pestan, sesaat setelah kami semua terlelap tidur, Harits menyempatkan berdiri dan menghitung jumlah kami berlima. Dia kaget ketika didapatinya jumlah kami menjadi enam, padahal ia tidak menghitung dirinya sendiri. Dia mengulangi kembali hitungannya dan kedua kalinya dia masih mendapati jumlah kami menjadi enam orang. Dia melihat di sebelah Ugi ada seseorang yang berbaring menyerupai kami, Harits tidak berani memastikan apakah itu benar-benar penglihatannya ataukah hanya halusinasi belaka?. Padahal seingatku, posisi di sebelah kanan Ugi adalah tanah agak cekung yang menurun ke bawah, jadi tidak mungkin ada orang yang bisa berbaring di samping Ugi. Dengan pengecualiaan jika orang tersebut mempunyai ilmu untuk meringankan tubuh dengan cara mengambang di udara.
Ketidakpercayaan terlihat dari raut muka Ugi yang tadinya kurang antusias mendengar cerita kami. seger ia bangkit dan menanyakan kepada Harits. Dia mencoba meyakinkan bahwa tidak ada siapa-siapa di sebelahnya, karena dia berada di ujung dan di sebelahnya hanya ada tanah yang agak menurun. Semakin bingung dan penasaran saja. Lalu Ugi menimpali cerita kami dengan menceritakan pengalamannya. Sangat mengejutkan, ketika Ugi bercerita semalam saat perjalanan dari Boschweisen menuju pos 2, ia sempat beberapa kali dikejutkan oleh sekelebat bayangan berwarna putih yang muncul di tengah-tengah rerimbunan pohon pinus dan lamtoro. Namun Ugi tidak serta merta menyimpulkan bahwa itu penampakan jin atau makhluk gaib, ia mencoba berifikir logis dan realistis bahwa itu hanya halusinasinya saja.
Harits kembali melanjutkan ceritanya, bayangan yang sempat ia lihat berada di samping Ugi tersebut masih belum beranjak dari penglihatan Harits sampai kami melanjutkan perjalanan menuju Pasar Watu. Setelah itu Harits tak lagi melihat bayangan berbentuk manusia tersebut, dan dia sedikit lega ketika sampai di Pasar Watu ternyata jumlah kami kembali menjadi lima seperti sediakala. Ternyata tidak cukup disitu saja pengalaman Harits, ketika kami semua tanpa terkecuali tertidur di antara celah bebatuan di Pasar Watu untuk melindungi diri dari hempasan angin yang mengaum keras. Harits bermimpi bahwa ada sesuatu yang hilang saat itu, namun ia tidak bisa mengetahui pasti siapa dan apakah yang hilang tersebut. Dia menjadi was-was dan terjaga dari tidurnya, sembari berdoa agar kami semua selamat sampai nanti pulang tanpa kurang suatu apa. Memang saat di Pasar Watu, aku melihat Haris bangun paling awal, kemudian disusul aku dan Sukro. Dia belum habis pikir, tentang apa arti mimpinya semalam. Sampai ketika Wawan merasa kehilangan plastik sampah yang diikatnya kencang di belakang tas. Harits berpikiran positif dan agak lega jika mengaitkan mimpinya tersebut dengan hilangnya plastik sampah yang ada di tas Wawan.
Aku, Ugi, dan Sukro yang mendengar cerita itu hanya diam dan saling memandang penuh rasa ketidak percayaan. Mendengar cerita itu, Wawan dan Gigih yang sebelumnya asyik bercanda langsung saja terlihat antusias mendengarkan cerita tersebut. Terakhir giliran Sukro yang menyahut dan melengkapi pengalaman mistis kami semalam. Dia melihat sebuah benda berwarna putih dan terjurai seperi rambut berwarna hitam yang menggantung di atas pohon di pos in memorium setelah Pos 2. Namun ia langsung melemparkan pandangannya dari benda tersebut dan melanjutkan perjalanan. Saat kami turun melewati in memorium tersebut, ia memastikan tentang pemandangan menakutkan yang semalam ia lihat. Dan setelah  ia amati di atas pohon tersebut, memang menggantung sebuah tandu pengusung yang sudah bekas dan usang. Dia menjadi lega ketika ternyata bukan sesosok makhluk halus yang dilihatnya, melainkan tandu usang yang mungkin dulu dipakai oleh tim SAR untuk menyelamatkan pendaki yang terkena musibah di Sumbing. Tetapi, mengapa posisi tandu tersebut di atas pohon? Bukannya di tanah? Apakah ada orang yang sengaja melemparkannya ke atas? Jika iya, kurang kerjaan betul itu orang?.
Dari kami berenam, hanya Gigih dan Wawan yang tak mengalami kejadian ganjil seperti yang kami alami. Benar saja, menurutku setan manapun pasti akan kabur dahulu melihat sosok Wawan, jadi mana mungkin mereka berani menakut-nakuti Wawan. Dan bagi Gigih, mungkin karena dia lebay, jadi setan mana yang akan naksir sama orang yang lebay? :D
Itulah sekelumit kisahku dan kelima temanku tentang pengalaman kami di Gunung Sumbing beberapa bulan yang lalu. Mungkin sebagai pembaca yang bijak, Anda boleh percaya boleh tidak. Yang jelas cerita ini adalah cerita nyata yang kami alami sendiri, tanpa ada unsur rekayasa sama sekali. Karena tulisan ini tidak bertujuan komersil atau mungkin ingin meraih popularitas melalui publikasi di dunia maya.
Tujuan tulisan ini bukan bermaksud untuk menakut-nakuti dan menjadikan anda berfikir skeptis tentang pendakian gunung. Lebih menyuguhkan keadaan realita yang kami alami tanpa menyampingkan unsur estetika, nilai-nilai keindahan dan passion yang di dapatkan dari kegiatan pendakian gunung. Mengenai hal-hal bersifat gaib, pastilah ada dan bahkan tidak usah di gunung. Di sekitar kita, atau bahkan dalam diri kita pun akan banyak dijumpai hal-hal bersifat tak kasat mata. Tetaplah memegang teguh etika, sopan santun dan tata krama kita selama berada di gunung. Jangan sekali-kali melanggar pantangan yang berlaku atau bahkan menantang keberadaan makhluk-makhluk gaib yang ada, meskipun tidak percaya sama sekali dengan hal-hal semacam itu, tetaplah menghormati dan mematuhinya. Terakhir, tetap selalu ingat akan kebesaran Sang Maha Pencipta, selalu memohon lindunganNya. Karena itulah kunci keberhasilan dan keselamatan kita selama berada di alam terbuka, khususnya gunung.
Jaga selalu yang alam anugerahkan kepada kita, senantiasa alam akan selalu menjaga kita. Salam lestari!!!!!

11 komentar:

  1. Pengalamannya hampir sama kaya pengalamanku dan temen" pas naik ke sumbing sekitar pertengahan tahun kmren..banyak bagian cerita yg sama.
    Dan masih agak trauma buat kesana lagi, apalagi smpet diputer"in waktu turun dr pos 2 ke pos 1..buat pengalaman dan pembelajaran pendakian" selanjutnya agar lbih mnjaga sikap dan mnghormati sesama makhluk tuhan yg ada disana..

    BalasHapus
  2. Keren ceritanya... jd pngn naik gunung

    BalasHapus
  3. Keren ceritanya... jd pngn naik gunung

    BalasHapus
  4. Saran dari saya berdasarkan pengalaman. Jangan mndirikan tenda di pos pestan.
    Lebih turun sedikit saja. Dekat dengan tanjakan panjang.
    Karna badai di pestan bisa ngelepas pasak tenda.
    Dan jangan melanjutkan perjalanan sampai watu kotak jika angin di pestan sudah terasa kencang. Di karekan jarak pestan-watu kotak, sangat terbuka dan sangat miring.

    Terima kasih.
    0857 7367 9593

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jarak dari pestan - watu kotak sangat panjang saat arab naik.

      Hapus
  5. Saran dari saya berdasarkan pengalaman. Jangan mndirikan tenda di pos pestan.
    Lebih turun sedikit saja. Dekat dengan tanjakan panjang.
    Karna badai di pestan bisa ngelepas pasak tenda.
    Dan jangan melanjutkan perjalanan sampai watu kotak jika angin di pestan sudah terasa kencang. Di karekan jarak pestan-watu kotak, sangat terbuka dan sangat miring.

    Terima kasih.
    0857 7367 9593

    BalasHapus
  6. Kmbli tersenyum ktika membaca. Krn pglaman adalah guru yg pling brhrga.sy mdaki ber 2 ckp sgkt prjln sy dn tman kr. Tman sy sdh terbiasa mdaki sndri n menejemen waktu ygbgus serta pralatan yg lmyn lgkp sy prtm x naik gn smbing n dtgl dpuncak sndrian sy bgung tkt jntg brdbr2 sy dn tmn sy naik dr pestan jm stgh4 sdh ksiangan krn dr pos 1 smp pestan di dera hujan yg ckp lbt sp jm 2dni hri bru reda. Stgh 4, km brgkt badai kbut pun msh mylimuti tp alhmdlilah tenaga badak km tetap on walau cm mknroti jm 5 lbh 15 mnit km smp punck buntu badai kbut dn angin mnusuk jemari tangan kamera pun enggan dpke sdikit momen yg d.abadikan hanya knangan jm 6 km trun dr puncak sy dtgl krn kondisi sepatu yg ane bw tk sesui medan jd licin sy ter pleset trus smp ktgl... Was2 n bgung tersingkp tkut cmpuraduk ktemu per3an sy tk tau hrus plh yg mana tp sy inggat tdi pas naik sy mlhat burung jalak trbg mdahului seakan mnunjukan jalan pdhl kbut n dnginnya mnta ampun knp brung jalak bsa hdup... Sy tepis anggpan itu dlm kbingungan ku brg jalak itu kmbli terbang n hgap di dedaunan ddpan ku n mloncat ke jalur bebatuan yg bnar n loncat lagi spt mnunjkn jalan akhrny sy brjalan trus n berpa2san dgn muda mudi yg mnanyakan puncak msh lma atau tdk smp skrg sy msh bertnya2 burung itu kq bisa hdp pdhl cuaca spt itu n it brg apa..

    BalasHapus
  7. Benar sekali apa yg mas2 lihat di dkt pos memoriam dkt pohon besar tsb teringat ketika sy berkunjung ke gunung sumbi 2013 silam disapa mbak bergaun putih berambut panjang tergerai di dkt pos in memoriam dengan pohon besar rindang sbg background nya..syukurnya mereka hanya cuek tdk lebih dr itu kelakuan nya ...salam lestari

    BalasHapus
  8. snow peak titanium
    snowpeak titanium - Стерталебаречно логоводалька полика с аварах двато акровы одрания titanium dog teeth implants змелика, Сгры, доя, с одрания змелика, Сгры, доя, suppliers of metal с men\'s titanium wedding bands одрания змелика, Сгры, доя, с одрания titanium nipple jewelry змелика, titanium exhaust tubing Сгр

    BalasHapus